Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sayonara, Hilman Hariwijaya San!

17 Maret 2022   00:05 Diperbarui: 17 Maret 2022   00:11 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi Benteng Inong Bale, Aceh | Foto oleh @hafidmanaf

Namun, sebaliknya, Paman Gober bakal berubah menjadi laki-laki yang seharum kulit manis, cengkeh, pala, hingga anggrek, kalau berbicara kepada keponakan-keponakannya.

Lembut. Wangi.   

Tangan Salwa bergerak cepat mengalihkan mouse ke sebelah kanan. Tak puas dengan satu pendapat saja. Ia singgah ke akun seorang perempuan, sosok yang adem, pesohor yang dingin: HANA CADABRA. Sosok yang entah mengapa, membuat Salwa selalu bergerak ke seluruh area negeri ini, membaui tanah, mereguk air, dan memandang rembulan di langit.

Bang Hilman Hariwijaya, selamat jalan. Kau telah membuat kaum lelaki zaman kami tak lagi menyukai tawuran, tetapi gelembung karet di mulut dan gelang karet di tangan kiri. Walau itu masih berupa getah karet yang disadap dari pohonnya.

Begitu bunyi unggahan Hana. Singkat.

Salwa senang dengan unggahan Hana, perempuan berusia akhir 40an tahun. Hana seolah meruntuhkan maskulinisme, menasbihkan feminisme, tetapi tak dengan cara kasar. Hana tak banyak bicara, apalagi menuliskan pikiran lewat ungkapan kata dan kalimat. Jauh lebih panjang kalimat-kalimat Ara, dibanding Hana.

***

Terjadi keributan di jagat Instagram, Twitter, Facebook, Tiktok, hingga percakapan lewat Telegram, Youtube, WhatsApp dan aplikasi lain. Media online ikut menulis berita. Banjir berita, satu cerita.

Viral!

"Benarkah ini wajah Ara Melodimen ketika masih pelajar sekolah menengah atas?" begitu mayoritas unggahan yang masuk.

Ara tersenyum. Tak ada yang ia komentari, dari begitu banyak unggahan yang masuk. Ia memilih sunyi. Hanya membaca. Ia membolak-balik koleksi Lupus karya Hilman. Bukan hanya itu, Ara menyambar novel-novel lain karya Gola Gong, Arswendo Atmowiloto, Mochtar Lubis, Buya HAMKA, Dee Lestari, Ayu Utami, Nova Riyanti Yusuf dan lain-lain.

Keseluruhan novel itu ia masukkan ke dalam kontainer. Tertulis: FIKSI.

"Hilman San sudah terang kuburannya. Biar ia di alam sana menjadi maghnet bagi generasi nanti. Sekarang, Ara Melodimen tak lagi fiksi. Non fiksi. Berurai kenyataan. Apa gunanya tahun 80an sampai 90an Hilman San membebaskan kami dari disiplin ala Kempeitai, berambut cepak, seragam, seolah robot? Di usia kini, apa yang terekam di balik rambut gondrong kami, patut disampaikan kepada khalayak," batin Ara.

Ia membongkar ribuan buku-bukunya dari lemari-lemari besi, kontainer, dan rak. Buku-buku itu ia serakkan di lantai satu apartemennya. Fiksi dipisahkan dengan non fiksi. Ia susun dan rangkai.

Ia ingin mengurutkan buku-buku itu. Tetapi biarlah, besok juga masih ada waktu. Dan besok lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun