Jefrey Winters, pengamat ekonomi-politik Indonesia itu, malah tidak memandang sama sekali pada keberhasilan gerakan mahasiswa 1998.Â
Baginya, Soeharto jatuh karena dollar, bukan karena gerakan mahasiswa. Ibarat orang yang sudah berada di pinggiran jurang, gerakan mahasiswa hanya memberikan the last touch. Atau dalam analisis yang lebih serius, komponen mahasiswa hanyalah bagian dari kartu terakhir yang bergerak setelah rupiah dan modal.Â
Dalam sistem perekonomian kapitalistik yang dijalankan Indonesia (Yusihara Kunio menyebutnya sebagai Erzats Capitalism, kapitalisme semu), sangat boleh jadi para pemilih modal sangat besar pengaruhnya kepada sistem politik Indonesia, sekalipun persoalan ini kurang begitu dipikirkan oleh komponen-komponen mahasiswa yang bergerak.
Dari sisi yang lebih abstrak, gerakan mahasiswa telah muncul sebagai kekuatan mitologis dalam sistem politik Indonesia. Gerakan mahasiswa selalu hadir sebagai bagian dari kutukan sejarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan rumit yang dihadapi bangsa Indonesia.Â
Makanya banyak juga yang menyebut gerakan mahasiswa sebagai bagian dari turun gunungnya sosok-sosok resi yang selama ini bertapa di kampus-kampus. Atau bagi yang gandrung menonton film Amerika, gerakan mahasiswa bagian dari cowboys yang tugasnya menumpas kejahatan.Â
Baik sebagai resi atau sebagai cowboys, gerakan mahasiswa tetap dianggap mengandung misi suci, tak peduli dengan pandangan sejumlah pengamat yang menemukan banyak anggota perempuan KAPPI yang hamil semasa gerakan mahasiswa 66, atau yang menemukan tumpukan kondom di gedung DPR-MPR ketika gerakan mahasiswa 98.
Padahal gerakan mahasiswa belum tentu sesuci itu. Ia tidak hadir dalam kevakuman politik. Malah sebaliknya, ia bahkan menjadi salah satu kekuatan politik di dunia ketiga, tetapi sering hanya sedikit sekali mahasiswa yang menyadarinya.Â
Menurut Hans Dieter-Evers, mahasiswa juga menjadi bagian dari kelompok strategis, sebagaimana halnya dengan tentara, kaum agamawan, atau kaum intelektual.Â
Bagi Dieter, gerakan mahasiswa dan gerakan petani termasuk kelompok-kelompok strategis baru yang sulit terintegrasi kedalam sistem patronase politik. Sebaliknya mereka menjadi ancaman terbesar bagi sistem kelas (Hans-Dieter Evers & Tilman Schiel, Kelompok-kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, hal. 16-17.)
Mengacu pada gerakan mahasiswa 1998 terlihat bahwa pola-pola gerakannya tidak mengalami perubahan. Ia hadir dalam situasi krisis, dan kepemimpinan yang dihasilkanpun -- baik dalam diri mahasiswa atau elite politik nasional yang kemudian tampil -- kepemimpinan by crisis atau by accident yang secara struktural dan kultural lemah, kecuali pemimpin-pemimpin itu punya bakat otoriter.Â
Kalau dirunut satu demi satu, tuntutan mahasiswa 98 mengandung kesamaan substansi dengan gerakan mahasiswa 66, sekalipun konteks dan objek-objek yang dituntut berbeda.Â