Minggu pertama bulan Ramadhan ini diisi dengan diskusi di milis grup tentang toa. Kebetulan, aku menemukan satu cerpen yang ditulis di Koran Sindo edisi minggu (16/09/2007) dengan judul "Suara-suara Keramat" yang ditulis oleh Taufiq Sutan Makmur. Pastilah penulisnya orang Minang yang sudah menikah, karena gelar Sutan (Sultan) yang dia peroleh.
Ketek banamo, gadang bagala (kecil bernama, dewasa bergelar). Bunyi pepatah adat Minangkabau. Kisah yang terasa nakal, tentang kehadiran suara azan atau bacaan Al Qur'an dari seorang tua di mesjid (surau) dekat rumah tokoh cerita.
Aku sungguh tidak ingin masuk ke wilayah diskusi itu. Apakah toa telah memberi manfaat atau mudarat. Menurutku, relatif. Kalau tidak ingin terusik, tinggal menggunakan kapas di kedua lubang telinga.Â
Aku sendiri tidak terpengaruh dengan bunyi toa. Rumah mertuaku di Jalan Talib III Kelurahan Krukut Kecamatan Tamansari Jakarta Kota berhimpitan dengan mesjid kecil atau disebut musholla Al Barkah.
Kadang, kalau hari minggu, kudengar mertua perempuanku sendiri yang mengaji, bersama anggota majelis ta'limnya. Dalam sebulan, rumah keluarga mertuaku penuh dengan para ibu yang sedang belajar mengaji, ketika aku pulang kerja agak pagian (jam 19.00).Â
Tidur dan bangun menurutku tergantung pikiran dan niat. Aku bisa dengan mudah bangun pagi, sebelum subuh, terutama kalau aku harus naik pesawat pagi-pagi. Afzaal, istriku dan mertuaku juga sudah terbiasa melakukan ritual itu, mengantarku ke bandara pagi-pagi sekali, usai shalat Subuh.
Aku menulis soal toa ini karena teringat kampung halamanku. Dusunku di Durian Kadok, Kenagarian Sikucur Selatan, Kecamataan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman.
Dulu, belum ada listrik masuk kampungku. Letak kampungku di seberang sungai besar Batang Naras menyulitkan pembuatan tiang-tiangnya. Kalaupun mengambil dari kampung lain, harus mendaki lereng-lereng bukit penuh pohon kelapa. Listrik baru menyala pada tahun 2002, dua tahun setelah aku masuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Itu pun atas jerih payah semua orang, terutama ayahku yang memberikan jaminan. Maka, rumah besar tengah sawah kami di kampung jadi pusat kabel lintang-pukang listrik yang diambil atau dibagi ke rumah-rumah tetangga. Jarak antar rumah berjauhan dan jumlahnya puluhan. Listrik sedikit saja sudah luar biasa berguna.
Sayangnya, sejak ada listrik, justru televisi masuk, radio datang, VCD menerjang, motor meraung, serta maksud awal untuk meningkatkan produktivitas ekonomi  warga kampung tidak tercapai.
Rencana ayahku untuk menggunakan listrik bagi kepentingan penetasan ayam kampung tinggal rencana. Barangkali karena usianya yang sepuh. Pensiunan pegawai negeri sipil golongan rendah. Ayah lebih banyak menggunakan waktu bersama kami, anak-anaknya dalam usia sekolah menengah, ke sawah dan ladang. Ayah tidak banyak masuk kantor, apabila diberikan jabatan mentereng seperti dinas pertambangan, perhubungan, atau semacamnya yang bergelimang rupiah emas. Ayah sempat mengepalai Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Ketua Panitia Pemilihan dalam sejumlah Pemilu di tingkat kecamatn. Semangat ayah menyala ketika diberikan jabatan dalam dinas pertanian, lalu menjadi ketua kelompok tani di dusun kami.Â