Di seluruh Kabupaten Padang Pariaman -- termasuk Kota Pariaman yang masih bergabung waktu itu -- aku adalah satu-satunya anak Universitas Indonesia. Alumnus SMA 2 Pariaman yang pertama yang menembus UI, Boss!Â
Sudah kebiasaan juga bahwa orang selapau (sewarung) akan ditraktir semuanya, kalau anak rantau pulang. Dan itu berlangsung sejak turun di terminal bus!Â
Kalau aku pulang, biasanya aku keliling dari satu lapau ke lapau lain untuk mentraktir semua makanan dan minuman orang-orang. Murah meriah dan yang penting tidak diomongin.
"Apalagi yang mau kau ota di lapau ini, Yaya? Orang Jakarta bisa kau ota, penonton televisi bisa kau buat ternganga. Kami? Mana bisa. Pasti kalah semua yang kau mau ceritakan!" begitu kata mereka, mau datuk-datukku ataupun kawan-kawan sebaya.Â
"Oh, begini. Kalau aku diundang orang maota di jakarta, atau dimanapun di Indonesia, bercerita di hadapan mereka, makin lama jamnya, makin mahal bayarannya. Di sini? Kalaupun otaku kalah malam ini, tetap saja minum bayar sendiri-sendiri, atau ngutang pula di lepau ini. Ya, mending aku bayarin semua, jadi seluruh ota sudah pasti milikku," kataku, sambil meraih kartu koa, kartu remi, atau main domino. Nah, ketika bermain itulah aku maota, terutama dalam gaya Nasruddin atau Abunawas, yakni kisah raja-raja atau ratu-ratu.Â
Mereka tertawa ngakak dengan kisah yang kubuat. Tentu yang berbau satire, semacam "Hoi, Raja Telanjang!" itulah. Tentu cerita tentang elite-elite Jakarta, Ibukota Negara.
Orang kota bosan dengan bunyi toa. Terlalu banyak toa bersuara sekaligus. Di kampungku justru suara toa dicari. Anak-anak muda biasanya mencatat baik-baik surau-surau mana saja yang mengadakan kegiatan yang menggunakan toa paling nyaring.Â
Baju terbaik disiapkan, baik oleh lelaki atau perempuan. Dan, saudara-saudara, tentu tujuan utama bukan (hanya) pengajiannya, tetapi lebih banyak melirik kembang-kembang desa yang hanya datang pada hari-hari khusus itu.
Tidak setiap hari sang lelaki desa, baik yang di kampung atau anak rantau, bisa melihat atau menatap gadis-gadis desa. Kalaupun ada waktu khusus untuk saling tatap-menatap itu adalah hari Sabtu, ketika hari pasar.Â
Maka, akan banyak sekali anak-anak lelaki duduk-duduk di dekat lapau pinggir sungai, sambil main kartu remi atau domino. Cukup memesan secangkir kopi, lalu bisa menambah air panas lagi, kalau sudah habis.
Pemenang lomba mengaji biasanya satu keluarga saja, turun-temurun. Â Dalam era kejayaannya, nama Yusnida, Etekku, atau nama Bachtiar Yan, Mamakku, tidak terkalahkan. Mereka juara lombba MTQ hingga tingkat Kabupaten. Rumah Uwo kami berada di sebelah Surau Lambah Aur. Rumah itulah yang ditugaskan menjaga surau itu, termasuk mengawasi anak laki-laki yang tidur di dalamnya, kebersihannya, hingga segala kegiatannya. Akupun tidur di surau itu sejak Sekolah Dasar di SD Inpres Sikucur. Aku hampir tak pernah ingat, kapan tidur di rumah ayahku, terkecuali setelah aku indekos saat SMA, lalu pulang saban Sabtu berpakaian pramuka.Â