Yang paling tidak pandai bersilat, tentu aku. Tubuhku tinggi, walau tentu berurat lumayan, akibat tiap hari megang pacul. Paling mudah menjatuhkan orang bertubuh tinggi dalam jurus-jurus silat. Satu-satunya jurus supaya tak kalah, tentu saja menekuk satu lututku, lalu memainkan jurus-jurus bawah. Bersilat melawan si Jhon yang lebih kurus dariku saja, aku kalah. Ketika lebih duluan merantau dariku, si Jhon ini masuk Gym. Tubuhnya tiba-tiba kekar saja, berhadapan dengan tubuh kurus ala mahasiswa UI Depok yang menopang tulang delapan kerat yang dibalut daging dan kulit dalam diriku.Â
Ceramah di kampungku tidak seperti ceramah di kota. Yang diuraikan oleh para guru adalah cerita-cerita zaman dulu. Entah benar atau tidak cerita itu, justru yang penting adalah moral ceritanya. Cerita Iskandar Zulkarnaen yang entah siapa, entah yang mana, sering sekali dinarasikan ulang. Aku mencari dalam banyak buku, apakah Iskandar Zulkarnaen itu Iskandar the Great atau nama lain?Â
Imaji remajaku dipenuhi dengan cerita tentang jin, kuda terbang, nabi Khidir, malaekat, dan cerita-cerita alam ghaib lain. zTentu untuk cerita Nabi Muhammad dan seluruh sahabat sudah diluar kepalaku. Ayah membekaliku dengan kitab-kitab tebal, dari tafsir Al Qur'an berbeda ulama, sampai Hadist Lengkap, pun Hadist Qudsi. Imajimasa remajaku yang sudah sangat gemar membaca komik sejak SD di Kota Padang Panjang, sedikit sekali terbentuk kepada kisah-kisah Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Sosok Ali bin Abi Thalib yang paling tidak bisa kubayangkan, sebagai anak muda yang menjaga Rasulullah, atau Hamzah bin Abdul Muthalib yang paman Nabi Muhammad SAW sekaligus sepersusuan dan hampir seusia.Â
Berbeda dengan aku dan Bobby Lukman Piliang. Usianya lebih kecil dariku, tapi aku wajib memanggilnya Paman. Pun puluhan yang lain, seperti Mak Hanafi, Mak Inggi. Kalau Mak Bur, anak dari Yawoku, tentu aku bakal bangga memanggilnya di keramaian. Disamping paling gagah, berlesung pipit, dalam seragam pramuka di Hari Sabtu, suka memberiku uang. Berhubung Uwo atau nenekku lebih muda usianya dibanding nenek-nenek mereka.Â
Tentu dalam setiap kisah atau cerita antah berantah itu, selalu diselipkan atau lebih tepat ditanamkan bunyi ayat-ayat dalam Al Qur'an dengan lafal yang indah dan pas. Mana sah sebuah cerita dari alim ulama dan tuanku, jika tak ada satupun kutipan ayat Al Qur'an dan Hadistnya. Aku biasanya langsung menggigil, bergidik, dengan perasaan marah yang ditahan, apabila mendengarkan ceramah agama dari orang-orang yang disebut 'alim, tapi tak sepenggalpun mengutip ayat-ayat dalam Al Qur'an atau Hadist. Pakem yang sudah tertanam di benakku sejak kecil seperti dicabik-cabik. Seolah tulang-tulangku yang dicabut dari daging-daging dalam tubuhku.Â
Mendengarkan ceramah di kampungku sungguh tidak membosankan, selain pikiran juga dipenuhi oleh tatapan-tatapan atas para gadis yang tersipu di pojok seberang.
Toa tidak dibenci di kampungku. Toa malah dinanti. Justru kalau terjadi musim paceklik, antara lain ditandai oleh hasil tani yang dimakan hama atau anak-anak rantau jarang yang pulang, maka toa sungguh menjadi sakral untuk dinanti. Jarang atau malah tidak terdengar lagi. Mak Ciak Anas beralih rupa menjadi pengukir kayu, bukan lagi orang yang sibuk dengan segala macam kabel, kawat, petromak, hingga toa itu.Â
Tetapi, lama kelamaan, toa tidak lagi seperti masa remajaku, setelah lebih banyak kaset dan vcd yang masuk. Petugas mesjid dan surau-surau kecil lebih senang memutar ceramah-ceramah dari antah berantah untuk didengarkan oleh orang-orang. Tujuan utama menunggu jamaah atau warga datang. Yang terjadi, tuanku yang biasanya Ungku Minin atau Mak Nek Cau yang berada dekat mimbar surau, lalu bertanya cara memutar ulang kaset. Orang-orang lebih suka berlama-lama duduk di lepau, sampai kaset yang diputar lewat toa itu selesai. Acara pengajian berlangsung singkat. Yang pokok-pokok saja.Â
Anak-anak gadis hampir sama saja, semakin tak berselera ke surau dengan selendang terbaik dan baju kerudung. Satu demi satu, mulai terlihat anak-anak gadis mengecat rambut, menggunakan baju kaos, sesuatu yang pantang sebelumnya, walau Uwoku menyiman duit di dalam kutangnya. Berbaju kaos adalah pantangan. Dan pantangan itu semakin subur menyerbu dusunku yang malah beberapa kali kekeringan, padahal kalau pulang kampung pastinya melewati Batang Naras yang lebar itu. Semakin banyak yang sekolah, semakin banyak yang bersekolah, kian lenganglah surau-surau itu dari anak-anak gadis. Tinggal yang menghuni Anduang-anduang, Uwo, Yawo, Ungku, atau Emak dan Etek yang sampai paling belakangan. Kian jarang rombongan anak-anak gadis di belakang mereka dengan senyum dikulum, mata melirik malu-malu.Â
Lagu-lagu khas padang pasir juga diperdengarkan lewat toa. Dulu, kami merindukan yang menyanyi itu adalah sekelompok anak muda dari desa atau dusun tetangga. Atau kami sendiri di masing-masing surau berlatih menyanyikan untuk dibawakan pada acara-acara penting itu.Â
Musabaqah!
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!