Ilmu ranji bak susunan pohon (beringin, hehe) itu sebetulnya tidak khas Taufik Kiemas. Pola komunikasi Akbar Tandjung juga sama. Dan – ehem – seluruh nama yang berada pada ukiran batu pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Saya membaca buku 66 tahun Taufik Kiemas. Saya tentu tahu, Taufik Kiemas adalah “anak-anak didik” Ali Murtopo dan Sudjono Humardani yang legendaris itu. Pun nama-nama lain.
Tentu, salah satu pengecualian, adalah Fahmi Idris, sosok yang bisa memerintahkan saya untuk berperang ke area manapun, ketika masuk Partai Golkar. Karena Fahmi Idris tidak dididik di “kampus” tempat saya bekerja selama 9 tahun, saya mau menerima perintahnya. Tentu saya sangat paham pilihan diksi “anak-anak Opsus” lainnya, sesenior apapun mereka.
Posisi sebagai Orang Istana di era Presiden Abdurrachman Wahid banyak “menyelamatkan” saya dari pola koalisi, kohabitasi, pun hubungan mamak-keponakan. Dan hanya Gus Dur yang datang ke makam Syech Burhanuddin di Ulakan, lalu berpidato bahwa Islam berhutang kepada Syech Burhanuddin dalam hal demokrasi. Islam kompatibel dengan demokrasi, sebagaimana ditulis juga oleh Anwar Ibrahim dalam edisi Journal of Democracy, adalah Indonesia. Gus Dur langsung menyimpulkan bahwa demokrasi yang dimaksud dalam Islam itu ada di Ulakan.
Di Ulakan kami anak-anak Pariaman memahami tentang bersafar. Cuma, orang lebih melihat tabut setiap 10 Muharram di Pariaman sebagai Islam yang “keras”. Padahal, hanya dalam hitungan satu-dua kilometer, ada tradisi yang hidup di Ulakan, yakni bersafar tadi. Saya mencoba mengajak semua pemimpin nasional lain datang ke Ulakan. Alhamdulillah, tokoh yang hadir adalah Ibu Mufidah Jusuf Kalla, tahun 2014. Saya dampingi sepanjang jalan, termasuk berdiri tiga jam di Istano Baso Pagaruyung sebagai hulubalang beliau.
Ya, saat itu Ibu Mufidah diangkat sebagai Bundo Kanduang Ranah Minang. Gelar yang juga diberikan kepada Ibu Megawati dan Ibu Ani Yudhoyono. Puti sebutannya.
Area pesantren Ulakan adalah simbol dari Datuk Perpatih Nan Sebatang dari rumpun Bodi-Chaniago, sebagai penjaga surau, pasar dan medan nan bapaneh. Sementera area Istano Baso Pagaruyung adalah simbol dari Datuk Ketumanggungan, sebagai penjaga rumah gadang, rantiang baririk (lumbung padi), dan telik sandi (intelegensia). Batu Batikam berasal dari keris Datuk Ketumanggungan (Koto-Piliang-Aristokrat), akibat kesal dengan pertanyaan bertele-tele ala Datuk Perpatih Ketumanggungan (Bodi-Chaniago-Egaliter). Koto-Piliang adalah kata memutus. Bodi-Chaniago adalah kata menyaring.
Ibu saya adalah penganut Syatariyah. Ayah saya, Muhammadiyah, sang gerilyawan dalam era PRRI, sekretaris Partai Masyumi dan penjaga simbol-simbol partai, termasuk Ketua Umum Mohammad Natsir, himne Masyumi (entahlah, apa partai-partai yang mengaku anak-cucunya, masih hafal himne Partai Masyumi dan membaca Kapita Selecta Mohammad Natsir). Sampai tua, terkena stroke tiga kali, ayah saya selalu memasakkan air mandi untuk ibu saya. Syatariyah dan Muhammadiyah tak membelah kami. Ayah urang darek, Amak adalah urang Pasisir.
Sudah cukup panjang bukan? Saya berhenti di sini.
Pergilah ke Ulakan, wahai kaum Pancasilais. Tapi jangan berhenti di sana. Saya baru bercerita tentang darat. Kaum Minang di lautan? Oh, jangan tertipu dengan propaganda hitam Malin Kundang!!!
Jakarta, 11 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H