Ucapan Ibu Megawati Sukarnoputri dan Mbak Puan Maharani memicu reaksi publik di Sumatera Barat, khususnya, dan etnis Minangkabau, umumnya. Sang Ibu bicara PDIP, Sang Anak bicara Pancasila. Wajar reaksi itu muncul, baik terhadap Ibu Mega dan Mbak Puan, ataupun terhadap publik Sumbar dan etnis Minangkabau. Pro dan kontra. Substansi politik terbaca kental. Tanpa perlu saling menuduh pihak mana yang emosional.
Saya tentu tak ingin masuk kepada substansi yang terasa kontroversial. Sebab, saya terlibat dalam banyak perdebatan politik dalam duapuluh tahun terakhir. Bahkan saya sempat menulis usulan Provinsi Minangkabau, jika Sumbar berkehendak menjadi provinsi dengan status otonomi khusus, bahkan kalau ingin bersyariah.
Namun, hal itu tidak bersambut. Almarhum Hasan Basri Durin sempat berbicara dengan saya, betapa pilihan eksklusif itu tidak mungkin dijalankan. Sumbar terlalu penuh dengan kelompok nasionalis. Tentu, Sumbar tak memberangus kelompok agamis, marawis. Adat memakai. Agama mengata. Adat menurun. Agama mendaki naik seperti jalanan Lembah Anai. Pusat parewa, pandeka, pun bukit tambun tulang sebelum Lembah Anai, langsung diganti dengan Sumatera Thawalib dan madrasah seolah Padang Panjang adalah Madinah.
Kota kecil yang melahirkan mahaguru perempuan pertama di Universitas Al Azhar, Rahmah El Yunusiyah. Ada perkumpulan Persatuan Muslimin Indonesia yang diampu oleh perempuan-perempuan hebat itu, satu organisasi dengan dua jiwa: Islamisme dan nasionalisme. Pun sekolah perempuan ternama Rangkayo Rasuna Said yang pandai bersilat dan tentu perokok aktif seperti nenek saya, Inyiak Atah. Dalam abad ke-20, sedikit sekali dunia menampung ilmuwan dan ustadzah perempuan, Padang Panjang salah satu yang bertinta berlian itu.
Di Kota Seribu Hujan yang seolah dinyanyikan oleh suara air yang mengalir di bawah lembah itu, perempuan dan laki-laki berada dalam kedudukan sejajar. Betul, terdapat pesantren untuk laki-laki, juga untuk perempuan. Namun bukan dalam artian hijab, apalagi burqah. Semua jenis makanan enak khas Sumatera, berada di sana. Buku-buku terbaru mendarat lebih cepat di Padang Panjang, ketimbang kota manapun di Sumatera. Tempat berburu buya yang santun dan terbuka, tapi sekaligus berjiwa ghirah sebagai korsa atau l’esprit de Dienul Islam. Ghirah yang tertanam di dada, bukan dalam bentuk bendera di kepala.
Tempat yang mewadahkan kehadiran seseorang yang ditulis dalam buku “Ayahku!” oleh Buya HAMKA. Tentu berbeda seperti buku “Emak” yang didedah Daoed Joesoef di meunasah Aceh.
Lalu, tak lama, ada pendakian, ada kampung masa kecil saya Aie Angek, alam Pandai Sikat dan Koto Lawas di kiri. Sayang, makin sulit melihat pemandangan indah itu. Rumah-rumah makin menyesaki pinggir jalan. Sesuatu yang pernah saya kritik dengan keras kepada Bupati Tanah Datar. Akibat orang-orang (belajar) borjuis dari kota ingin unjuk harta, jalanan yang semula area bebas tak diisi rumah, penuh dengan bunga (termasuk saya ikut menanam ketika SD dan SMP dalam kegiatan pramuka), kini seolah Benteng Tembok Besar yang menutupi Gunung Singgalang di kiri dan Gunung Marapi di kanan.
Sudah lupa saya, dimana rumah dari Kepala SD dan SMP saya yang selalu menyetrap saya di ruang mereka. Ya, saya nakal, suka berkelahi, membuat “tatto” di dagu bersama Elsa Ivandora pas SMP. Bapak Kepala Sekolah kami punya tiga anak kembar yang ada di grup SMP: Eka Wahyuni, Dewi Wahyuni, dan Sri Wahyuni. Orang Panyalaian.
Masuk sedikit ke arah Pandai Sikat di Kayu Tanduk, sebelum pos polisi, berjalan ke kiri. Terdapat makam Haji Miskin yang lebar dan panjang. Bukti, “wahabi” itu bukanlah perang orang Minang dalam cerita yang dibesar-besarkan oleh pecinta hoax. Seingat saya, makam Haji Miskin dikelilingi oleh tanah warisan kelompok adat, ketimbang kaum ulama. Para pemahat, pelukis, pembuat talempong, pecandu saluang, dan sudah pasti khusuk dengan permainan koa, remi dan domino yang asal China itu.
Saya dikirim pihak sekolah belajar memahat di Koto Lawas, ketika kelas 5 SD. Setiap pekan, para pendaki Gunung Singgalang bakal berjajar. Tak ada sama sekali penghancuran makam Haji Miskin, sebagaimana terjadi di kalangan mereka yang bertempur di gurun-gurun sana. Terhadap makam nabi-nabi
Pasar Koto Baru yang sebenar-benarnya pekan bagi tanaman organik. Setiap Hari Selasa pagi, saya mengikuti jejak Inyiak Atah membawa sayur di atas kepala, dari japan, rimbang, terong belanda, cabe, pun bunga matahari yang saya tanam. Bukan Padang Luar menjadi pusat dari tanaman organik dari pinggang Singgalang dan Marapi, tapi Koto Baru! Tempat amai-amai berjualan. Dulu, karena cuaca dingin dan kami seolah menginjak kabut, pipi anak-anak gadis di Koto Baru sudah pasti terkelupas. Tak perlu ke Mongolia melihat yang seperti itu. Keluarga Hadis Didong juga punya sejumlah kuda berukuran raksasa untuk tak menyebut padang rumput asal Genghis Khan.
Bukittinggi, Padang Panjang, dan beberapa daerah masih “memaafkan” pacuan kuda, adu kerbau, pertandingan layang-layang, sepakbola (kedua kakak saya berkelahi di lapangan, tak sadar bahwa ayah mereka sama, berhubung istri ayah saya empat orang).
Setelah Padang Luar?
Ya Paris van Sumatera, Fort de Kock, atau Bukittinggi yang dibangun Belanda pada 1825. Terus ke area yang dipahat oleh alam, diukir oleh waktu, dikedipin bintang dari galaksi nan jauh. Bumi kunang-kunang, kelelawar, elang, dan area perbukitan yang dikenal sebagai Bukit Barisan.
Dari sekitar sepuluh benteng yang dibangun oleh Hindia Belanda, dua terletak di Sumbar. Fort de Kock dan For Van Der Cappelen. Belanda sengaja memahat benteng itu, karena kesulitan menundukkan Benteng Bukit Tajadi di Bonjol. Tiga setengah tahun pasukan koalisi mendekati Benteng Bukit Tajadi sejengkal demi sejengkal. Beragam warna kulit, dari pasukan Boer, Belanda, Jerman, Bali, Madura, Makassar, Ambon, dan lain-lain terkubur di lembah Pasaman itu. Fort de Kock dan Fort Van Der Cappelen adalah benteng kekalahan yang tetap tegak, dibanding Bukit Tajadi yang diukir di dalam bebatuan, dalam bentuk bilik-bilik, bagai labirin manusia-manusia goa.
Benteng Bukit Tajadi menyingkap strategi perang dari etnis Minangkabau. Strategi bakubu-kubu di dalam tanah, babuku-buku di atas tanah. Strategi yang tak pernah ofensif, terkecuali sebagai pasukan bantuan dalam meluluh-lantakkan Kerajaan Temasek di Singapura sekarang. Bantuan kepada Adityawarman oleh pasukan Bujang Selamat dari daerah Sijunjung dan Dharmasraya. Adityawarman adalah satu dari tujuh pemangku “adat” Kerajaan Majapahit yang di usia tua menghuni Istano Basa Pagarruyung. Adityawarman yang melatih Gajah Mada dan Gajah-Gajah lain, generasi muda yang lahir dari ayah Singosari dan ibu Dharmasraya, sebagai pasukan cakra-birawa Majapahit.
Gajah Mada dan Gajah-Gajah yang lain yang lebih patuh kepada Ratu, ketimbang Raja. Mereka inilah yang mungkin tak disentuh oleh Ibu Megawati. Bisa jadi, terkecuali Sutan Riska. Di Temasek, Adityawarman dilibas pedang, hingga membuat umurnya panjang. Seperti codet di pipi Buya Hamka ketika bermain pisau kala masih belum fasih langkah empat dalam silat.
Sebagai sahabat Haji Alex Lukman, Ketua DPD PDIP Sumbar, saya tentu ikuti jejak langkah partai nasionalis ini di Sumbar. Saya juga sempat berniat masuk PDIP, walau tak kesampaian. Alasannya sama, yakni kekhawatiran para politisi di Sumbar betapa saya bakal jadi Malin Kundang. Padahal, Gamawan Fauzi didukung PDIP dan PBB, kenapa bisa menang?
Trauma PRRI disebut sebagai alasan kuat. Belum lagi residu dari politik era 1950an dan 1960an yang banyak memasukkan tokoh-tokoh asal Sumbar ke penjara. Residu yang menurut saya lebih banyak lubang hitamnya, ketimbang paparan yang jernih. Saya ingat menonton film “Enam Jam di Yogya” di Bioskop Karia Padang Panjang di kelas V SD. Bukan hanya film itu, tapi sejumlah film lain, termasuk si Temon yang mencari ibunya, lalu menusuk serdadu Jepang dengan bambu runcing, sambal menghirup ingus.
Yang saya harus tanya kepada sejarawan, bias jadi Ibu Megawati bisa kerahkan anggota-anggota saya dalam wadah Ikatan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia: “Bagaimana otak seorang kutu buku, jago matematika, dan juara Bahasa Inggris sejak SD seperti saya, bisa ditulari cerita bahwa jasad Sukarno hitam ketika dibawa ke pamakanan di Blitar!” Bertahun-tahun saya mencari tahu tentang itu. Walau sering berdiskusi dengan Prof Dr Mahar Madjono, saya tidak sampai hati bertanya.
Ketika bertemu dengan Taufik Kiemas di kantor yang dipasangi kepulauan Indonesia buatan Bang Hendro Priyono, saya diminta memanggilnya Mamak. Tentu saya bertanya. Taufik Kiemas – dulu di kalangan aktivis Pro Gus Dur, julukan Taufik Kiemas adalah (maaf) Tokek, sementara julukan Bambang Kesowo adalah Bangke – menjelaskan ranji dari rumpun Piliang Sulit Air. Saya jelaskan bahwa ketika masuk UI, satu angkatan dengan Puan Maharani. Pilihan kedua saya Ilmu Sejarah, pilihan pertama Ilmu Meteorologi dan Geofisika ITB, dan pilihan ketiga Ilmu Antropologi.
“Pak, beruntung saya tidak naksir Puan. Justru saya nyesal, tidak ambil pilihan ketiga menjadi pilihan kedua. Sebab, teman Puan anak Antropologi FISIP UI itu cantik, berambut hitam tebal, sahabat Puan,” kata saya. Pak Taufik tertawa.
Ilmu ranji bak susunan pohon (beringin, hehe) itu sebetulnya tidak khas Taufik Kiemas. Pola komunikasi Akbar Tandjung juga sama. Dan – ehem – seluruh nama yang berada pada ukiran batu pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Saya membaca buku 66 tahun Taufik Kiemas. Saya tentu tahu, Taufik Kiemas adalah “anak-anak didik” Ali Murtopo dan Sudjono Humardani yang legendaris itu. Pun nama-nama lain.
Tentu, salah satu pengecualian, adalah Fahmi Idris, sosok yang bisa memerintahkan saya untuk berperang ke area manapun, ketika masuk Partai Golkar. Karena Fahmi Idris tidak dididik di “kampus” tempat saya bekerja selama 9 tahun, saya mau menerima perintahnya. Tentu saya sangat paham pilihan diksi “anak-anak Opsus” lainnya, sesenior apapun mereka.
Posisi sebagai Orang Istana di era Presiden Abdurrachman Wahid banyak “menyelamatkan” saya dari pola koalisi, kohabitasi, pun hubungan mamak-keponakan. Dan hanya Gus Dur yang datang ke makam Syech Burhanuddin di Ulakan, lalu berpidato bahwa Islam berhutang kepada Syech Burhanuddin dalam hal demokrasi. Islam kompatibel dengan demokrasi, sebagaimana ditulis juga oleh Anwar Ibrahim dalam edisi Journal of Democracy, adalah Indonesia. Gus Dur langsung menyimpulkan bahwa demokrasi yang dimaksud dalam Islam itu ada di Ulakan.
Di Ulakan kami anak-anak Pariaman memahami tentang bersafar. Cuma, orang lebih melihat tabut setiap 10 Muharram di Pariaman sebagai Islam yang “keras”. Padahal, hanya dalam hitungan satu-dua kilometer, ada tradisi yang hidup di Ulakan, yakni bersafar tadi. Saya mencoba mengajak semua pemimpin nasional lain datang ke Ulakan. Alhamdulillah, tokoh yang hadir adalah Ibu Mufidah Jusuf Kalla, tahun 2014. Saya dampingi sepanjang jalan, termasuk berdiri tiga jam di Istano Baso Pagaruyung sebagai hulubalang beliau.
Ya, saat itu Ibu Mufidah diangkat sebagai Bundo Kanduang Ranah Minang. Gelar yang juga diberikan kepada Ibu Megawati dan Ibu Ani Yudhoyono. Puti sebutannya.
Area pesantren Ulakan adalah simbol dari Datuk Perpatih Nan Sebatang dari rumpun Bodi-Chaniago, sebagai penjaga surau, pasar dan medan nan bapaneh. Sementera area Istano Baso Pagaruyung adalah simbol dari Datuk Ketumanggungan, sebagai penjaga rumah gadang, rantiang baririk (lumbung padi), dan telik sandi (intelegensia). Batu Batikam berasal dari keris Datuk Ketumanggungan (Koto-Piliang-Aristokrat), akibat kesal dengan pertanyaan bertele-tele ala Datuk Perpatih Ketumanggungan (Bodi-Chaniago-Egaliter). Koto-Piliang adalah kata memutus. Bodi-Chaniago adalah kata menyaring.
Ibu saya adalah penganut Syatariyah. Ayah saya, Muhammadiyah, sang gerilyawan dalam era PRRI, sekretaris Partai Masyumi dan penjaga simbol-simbol partai, termasuk Ketua Umum Mohammad Natsir, himne Masyumi (entahlah, apa partai-partai yang mengaku anak-cucunya, masih hafal himne Partai Masyumi dan membaca Kapita Selecta Mohammad Natsir). Sampai tua, terkena stroke tiga kali, ayah saya selalu memasakkan air mandi untuk ibu saya. Syatariyah dan Muhammadiyah tak membelah kami. Ayah urang darek, Amak adalah urang Pasisir.
Sudah cukup panjang bukan? Saya berhenti di sini.
Pergilah ke Ulakan, wahai kaum Pancasilais. Tapi jangan berhenti di sana. Saya baru bercerita tentang darat. Kaum Minang di lautan? Oh, jangan tertipu dengan propaganda hitam Malin Kundang!!!
Jakarta, 11 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H