Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mainlah ke Ulakan, Wahai Kaum Pancasilais!

11 September 2020   00:17 Diperbarui: 11 September 2020   03:36 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukittinggi, Padang Panjang, dan beberapa daerah masih “memaafkan” pacuan kuda, adu kerbau, pertandingan layang-layang, sepakbola (kedua kakak saya berkelahi di lapangan, tak sadar bahwa ayah mereka sama, berhubung istri ayah saya empat orang).

Setelah Padang Luar? 

Ya Paris van Sumatera, Fort de Kock, atau Bukittinggi yang dibangun Belanda pada 1825. Terus ke area yang dipahat oleh alam, diukir oleh waktu, dikedipin bintang dari galaksi nan jauh. Bumi kunang-kunang, kelelawar, elang, dan area perbukitan yang dikenal sebagai Bukit Barisan.

Dari sekitar sepuluh benteng yang dibangun oleh Hindia Belanda, dua terletak di Sumbar. Fort de Kock dan For Van Der Cappelen. Belanda sengaja memahat benteng itu, karena kesulitan menundukkan Benteng Bukit Tajadi di Bonjol. Tiga setengah tahun pasukan koalisi mendekati Benteng Bukit Tajadi sejengkal demi sejengkal. Beragam warna kulit, dari pasukan Boer, Belanda, Jerman, Bali, Madura, Makassar, Ambon, dan lain-lain terkubur di lembah Pasaman itu. Fort de Kock dan Fort Van Der Cappelen adalah benteng kekalahan yang tetap tegak, dibanding Bukit Tajadi yang diukir di dalam bebatuan, dalam bentuk bilik-bilik, bagai labirin manusia-manusia goa.

Benteng Bukit Tajadi menyingkap strategi perang dari etnis Minangkabau. Strategi bakubu-kubu di dalam tanah, babuku-buku di atas tanah. Strategi yang tak pernah ofensif, terkecuali sebagai pasukan bantuan dalam meluluh-lantakkan Kerajaan Temasek di Singapura sekarang. Bantuan kepada Adityawarman oleh pasukan Bujang Selamat dari daerah Sijunjung dan Dharmasraya. Adityawarman adalah satu dari tujuh pemangku “adat” Kerajaan Majapahit yang di usia tua menghuni Istano Basa Pagarruyung. Adityawarman yang melatih Gajah Mada dan Gajah-Gajah lain, generasi muda yang lahir dari ayah Singosari dan ibu Dharmasraya, sebagai pasukan cakra-birawa Majapahit.

Gajah Mada dan Gajah-Gajah yang lain yang lebih patuh kepada Ratu, ketimbang Raja. Mereka inilah yang mungkin tak disentuh oleh Ibu Megawati. Bisa jadi, terkecuali Sutan Riska. Di Temasek, Adityawarman dilibas pedang, hingga membuat umurnya panjang. Seperti codet di pipi Buya Hamka ketika bermain pisau kala masih belum fasih langkah empat dalam silat.

Sebagai sahabat Haji Alex Lukman, Ketua DPD PDIP Sumbar, saya tentu ikuti jejak langkah partai nasionalis ini di Sumbar. Saya juga sempat berniat masuk PDIP, walau tak kesampaian. Alasannya sama, yakni kekhawatiran para politisi di Sumbar betapa saya bakal jadi Malin Kundang. Padahal, Gamawan Fauzi didukung PDIP dan PBB, kenapa bisa menang? 

Trauma PRRI disebut sebagai alasan kuat. Belum lagi residu dari politik era 1950an dan 1960an yang banyak memasukkan tokoh-tokoh asal Sumbar ke penjara. Residu yang menurut saya lebih banyak lubang hitamnya, ketimbang paparan yang jernih. Saya ingat menonton film “Enam Jam di Yogya” di Bioskop Karia Padang Panjang di kelas V SD. Bukan hanya film itu, tapi sejumlah film lain, termasuk si Temon yang mencari ibunya, lalu menusuk serdadu Jepang dengan bambu runcing, sambal menghirup ingus.

Yang saya harus tanya kepada sejarawan, bias jadi Ibu Megawati bisa kerahkan anggota-anggota saya dalam wadah Ikatan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia: “Bagaimana otak seorang kutu buku, jago matematika, dan juara Bahasa Inggris sejak SD seperti saya, bisa ditulari cerita bahwa jasad Sukarno hitam ketika dibawa ke pamakanan di Blitar!” Bertahun-tahun saya mencari tahu tentang itu. Walau sering berdiskusi dengan Prof Dr Mahar Madjono, saya tidak sampai hati bertanya.

Ketika bertemu dengan Taufik Kiemas di kantor yang dipasangi kepulauan Indonesia buatan Bang Hendro Priyono, saya diminta memanggilnya Mamak. Tentu saya bertanya. Taufik Kiemas – dulu di kalangan aktivis Pro Gus Dur, julukan Taufik Kiemas adalah (maaf) Tokek, sementara julukan Bambang Kesowo adalah Bangke – menjelaskan ranji dari rumpun Piliang Sulit Air. Saya jelaskan bahwa ketika masuk UI, satu angkatan dengan Puan Maharani. Pilihan kedua saya Ilmu Sejarah, pilihan pertama Ilmu Meteorologi dan Geofisika ITB, dan pilihan ketiga Ilmu Antropologi.

“Pak, beruntung saya tidak naksir Puan. Justru saya nyesal, tidak ambil pilihan ketiga menjadi pilihan kedua. Sebab, teman Puan anak Antropologi FISIP UI itu cantik, berambut hitam tebal, sahabat Puan,” kata saya. Pak Taufik tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun