Entah mengapa, perjalanan bersama Kun, Luthfi Musthofa, dan sahabat-sahabat saya yang rata-rata berasal dari Tanah Sunda, membawa saya kepada “pengembaraan” baru dalam melihat spiritualitas dalam mistisisme.
Belum lagi lingkaran terdalam Yuddy Chrisnandi yang betul-betul Sundanese, seperti Pak Aco Santana. Pak Santana marah besar kepada saya, ketika saya katakan bahwa ayahanda Diah Pitaloka bukan dibunuh atau harakiri, melainkan “terpeleset” menginjak kotoran kuda setelah hujan turn di Bubat.
Saya katakan kepada Kun: “Satu-satunya cara untuk menjadikan Nusantara ini terbang sebagai negara gemah ripah loh jinawi adalah menyatukan Jawa!
Gajah Mada membawa keris Mpu Gandring untuk menyatukan Nusantara. Itu keliru. Jawalah yang wajib disatukan. Orang Sunda tak lagi merasa beda dengan orang Banten. Orang Malang bukan lagi merasa musuhan dengan orang Kediri. Orang Madura tak lagi merasa sebagai “Jawa Pinggiran”. Entitas etnografis memang tetap perlu.
Tapi yang lebih utama: hancurkan kosmologi mitos dan mistis yang memprorak-porandakan Jawa sebagai satu kesatuan mimpi dan impian. Jika lu masih ingin menjadi satu-satunya orang yang berani bertanya,’Lu dari mana barusan? Tubuh lu aja yang disini?’ Masuk Partai Golkar!”
“Cuma gue yang tahu lu. Karena gue tahu lu, Bismillah! Walau gue dulu ikut demo ‘Bubarkan Golkar’ sebarisan dengan Noel!” kata Kun.
“Lu pikir gue lupa itu? Golkar kan sudah lama bubar! Gue ajak lu masuk Partai Golkar, bukan masuk Golkar! Partai yang inshaa Allah makin moderen!” kata saya.
Kun tertawa. Ia mengirimkan riwayat hidup. Saya langsung forward kepada Ketua Umum Airlangga Hartarto, plus kepada Maman Abdurrachman, Ketua Bappilu DPP Partai Golkar.
Selesai? Belum. Izinkan saya berburu lagi di kalangan kelompok yang paling militan dengan simbol 212!!! Wallahu’ Alam…
Jakarta, 26 Juni 2020
#IqraJumatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H