Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Berburu Politisi Garis Depan!

26 Juni 2020   14:30 Diperbarui: 27 Juni 2020   09:03 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kursi pemimpin. (sumber: KOMPAS/HANDINING)

Noel, andai ia maju di Jakarta nanti dalam pemilu legislatif 2024, bagi saya adalah politisi garis depan yang bisa memainkan peran di kalangan pemilih. Medan Jakarta bagi Noel bukanlah medan yang asing.

Darah kawan-kawan kami yang gugur atau luka selama transisi politik setelah Pak Harto berhenti, ikut membasahi jalanan Jakarta. Jauh lebih asing Medan bagi seorang Noel, ketimbang medan Jakarta. Saking kenalnya medan Jakarta, Noel bagi saya bukan lagi seorang petarung. Ia sudah menjadi bagian dari masyarakat Betawi, sebagaimana saya.

Dalam Anggaran Dasar Bamus Betawi, tercatum satu klausulan bahwa orang Betawi adalah yang lahir di Jakarta atau sudah tinggal di Jakarta selama 25 tahun. Saya sudah 29 tahun di Jakarta, berarti saya Betawi. Betawi yang bukan hanya berdasarkan statuta Bamus Betawi, namun sekaligus rasa haus akan humor. 

Pesilat paling tangguh Betawi adalah pelawak paling ulung. Cara Noel menghadapi Tempo, pun bercengkrama berbagi sembako dengan Sandiaga Uno, bagi saya adalah karakter dasar keBetawian seorang Noel.

Tentu, Noel layak dipanggil Abang, walau kini tinggal di Depok. Ya, dalam soal tempat tinggal ini, tak ada yang bisa mengalahkan saya: warga Kecamatan Sawah Besar dan Kecamatan Tamansari sejak berusia 19 tahun.

Begitu kira-kira apa yang saya sebut sebagai perburuan karakter yang bisa berada di lini depan. Yang jelas, saya tak akan berhenti dari seorang Noel. Tadi malam, saya “bertengkar” dengan Kun Nurachadijat yang kini sudah doktor dan dekat sebuah perguruan tinggi swasta. Dia saya daulat masuk Partai Golkar. 

Para aktivis mahasiswa UI sezaman tentu paham hubungan saya dengan Kun. Kun adalah seorang Sukarno Muda di mata saya. Ia “penemu” metode nasionalisme relegius dalam training-training Himpunan Mahasiswa Islam. 

Satu-satunya orang yang bisa memecahkan metode Kun yang ia selalu gambar dalam selembar kertas kosong dengan dua garis menyilang adalah saya. Saya manaruh satu titik merah di luar kertas putih itu, lalu mengajukan pertanyaan:

“Orang yang berdiri pada titik ini, berarti bukan Islam, dan bukan juga Indonesia? Ya, sudah, lu taruh gue di titik ini. Lu mau gabungkan otak Bung Karno dengan otak Cak Nur, urusan lu,” kata saya. Kun kaget, lalu hingga kini jadi sahabat sejati saya.

Semalam, saya mengatakan ini kepada Kun: “Satu-satunya orang yang punya ilmu tentang perjalanan ‘roh’ itu adalah elu. Nanti, siapa lagi yang percaya bahwa gue baru saja berangkat ke arena Perang Bubat, lalu berbicara langsung dengan Gajah Mada, Diah Pitaloka dan lain-lain, dengan badan yang menahan amarah?”

Kun terbahak. Betul, saya dulu dikenal sebagai orang yang anti mistisisme. Mistisisme, apalagi mitologi, bagi saha hanyalah tahayul, kurafat, dan bid’ah semata. Buku-buku yang saya baca tentu berasal dari koleksi almarhum ayah saya yang Masyumi garis keras ketika mudanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun