“Gini, kalau mau menjadi jubir yang tak terkalahkan, pakai jurus ini,” kata saya, ketika Tjahjo Kumolo becanda tentang kualitas para jubir di televisi.
Saya tentu bukan jubir resmi, berhubung hanya menjadi ronin dalam kelompok Poros Muda Partai Golkar yang dikoordinir oleh Agus Gumiwang Kartasasmita, lalu berbagi peran dengan Andi “Ucok” Sinulingga. Saya penyerang kanan, Andi Ucok sayap kiri.
Bersama Roosdinal Salim dan lain-lain, saya menghadap Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie untuk menjadi ronin. Tentu, sembari melepaskan status sebagai Samurai Beringin.
Jadi, ketika Noel menyebut Pilgub DKI Jakarta sebagai salah satu jenderal lapangan tengah Basuki Tjahaja Purnama, tak ada yang penting buat saya.
Bukankah saya adalah Panglima Besar Sang Gerilyawan Batavia yang setiap hari berkampanye untuk Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno? Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Pak Agung Laksono, melarang saya tampil di televisi sebagai juru bicara Anies -Sandi.
Saya hanya boleh bergerak di basis. Ya, sudah, saya berkeliling membaca puisi dalam acara-acara yang dikoordinir Pendopo Anies – Sandi. Koordinasi paling sering saya lakukan dengan M Taufik, sosok yang sudah lama saya kenal, ketika memperbaharui perundang-undangan terkait DKI Jakarta.
Noel memenuhi syarat sebagai politisi garis depan. Saya mencari sosok seperti itu. Tidak baper ketika diserang, tapi bisa membangun benteng pertahanan, sekaligus mempermainkan bola di area lawan.
Selama Pilgub DKI Jakarta, saya paling banyak bergaul dengan pendukung Ahok. Selain Partai Golkar berada di barisan Ahok, kawan-kawan saya yang menjadi pendukung Ahok, tidak segan-segan memberikan logistik kepada tim saya.
Sebagai relawan kere dan keriput, tidak ada bohir di belakang Sang Gerilyawan Batavia. Bisa saya sebut nama-nama orang yang membantu saya itu, seperti Deddy Sitorus dan Jeffrie Geovanie.
Mereka berdua adalah Ahok garis keras. Tapi mereka juga sahabat-sahabat saya, sebelum Deddy berangkat studi ke Inggris, sebelum Jeffrie masuk Partai Golkar tahun 2009.