Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Titik Beda Simbol GAM-RI

2 Mei 2020   19:00 Diperbarui: 2 Mei 2020   18:55 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Resensi Tabloid KONTRAS, Banda Aceh, Kamis, 22 April 2010

Titik Beda Simbol GAM-RI

Oleh Murizal Hamzah [Editor Buku Aceh di Mata Urang Sunda]  

Judul: Bouraq-Singa Kontra Garuda [Pengaruh Sistem Lambang dalam Separatisme GAM terhadap RI]

Penulis : Indra Jaya Piliang

Penyunting : M Nursam.

Pengantar  : Otto Syamsuddin Ishak

Terbit : Maret 2010

Tebal   : xxiv + 184 hlm  

Belasan anggota TNI tidak menemukan kejanggalan dalam sebuah rumah sederhana di pedalaman Aceh Timur. Seisi rumah sudah diobrak-abrik. Tidak ditemukan senjata atau indikasi lain yang menunjukkan pemilik seorang gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Justru di ruang tamu terpampang bingkai berisi lukisan Burung Garuda serta foto presiden RI. 

"Mereka tertipu dengan tempelan itu yang menduga saya seorang pro NKRI. Padahal saya GAM yang kerjanya menyelundup senjata," kutip pria berbadan subur ini kepada saya pada tahun 2001. 

Saya tidak bisa menahan geli menyimak pengalaman pria berusia sekitar 40 tahun itu. Selain itu, dia juga mahir menghafal teks Pancasila dan menyanyikan Lagu Indonesia Raya. 

"Dengan modal, saya selalu lolos dari razia," ucapnya menebar senyum. 

Sekedar dicatat, kadangkala militer Indonesia meminta warga untuk melantunkan dua simbol tersebut sebagai bukti setiap pada NKRI harga mati. Simbol, lambang, atau kata bukanlah sekedar deretan huruf-huruf, permainan warna, atau makna melompong. Dalam pentas politik, semua itu mengandung pesan tertentu sebagai bentuk perlawanan identitas diri (hal. 12). 

Dalam perkara ini, Indra menyibak makna-makna simbol dan bendera GAM-RI secara menungkit. Tak pelak, buku ini juga bertaburan tiori-tiori komunikasi atau tiori lain yang bagi kaum awam bisa membosankan. Maklum buku ini diadaptasi dari thesis penulis di Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 

Penulis yang sering mengupas konflik Aceh mengingatkan simbol budaya bisa menjadi alternatif resolusi konflik horizontal atau konflik vertikal. Untuk membedah arti lambang dan simbol GAM-RI, penulis tidak menggunakan pisau analisis yang lazim digunakan dalam ilmu sejarah atau ilmu politik. Namun menggunakan pisau ilmu semiotika. 

Semiotika ialah ilmu tentang tanda-tanda atau studi tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengannya, cara berfungsi,  hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaanya oleh mereka yang menerimanya. (hal. 51). Dalan bejana semiotika, lambang GAM-RI ditempatkan dalam tataran teks budaya, lalu dicarikan penanda dan pertanda. 

Hasilnya? 

Lambang RI yaitu Burung Garuda dan bendera nasional Merah Putih ditafsirkan secara diakronis, terutama melalui pemikiran pendiri bangsa. Sementara lambang GAM yakni Bouraq-Singa dan bendera Bulat Sabit diartikan secara diakronis dan sinkronis. 

Analisisi atas temuan penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang kian jelas perbedaan aspek yang diperjuangan oleh GAM dengan aspek yang dalam dalam lambang RI. Secara piawai, penulis menjelaskan riwayat Merah Putih dan Garuda yang merujuk pada buku berjudul 6.000 Tahun Sang Merah Putih yang ditulis oleh Muhammad Yamin.  

Disebutkan, secara resmi Merah Putih berkibar di persada Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dijahit oleh Fatmawati istri Soekarno. Secara internasional, Merah Putih dinaikkan pertama di Lake Succes Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 28 September 1950. 

Sedangkan bendera GAM yakni Bulat Sabit diudara pertama kali di bumi Aceh pada 4 Desember 1974 di Gunung Halimon Pidie oleh deklarator GAM Dr Hasan Tiro yang dihadiri oleh 12 orang. 

Perbedaan tajam lain antara Bouraq-Singa Vs Garuda yakni GAM menggunakan singa yang bukan binatang khas Indonesia. Singa hidup di belantara Afrika atau India. Sedangkan Bouraq merupakan kendaraan Nabi Muhammad SAW dalam Isra Mikraj yang bisa terbang. 

Bouraq dan Garuda sama-sama bisa terbang dan menjadi nama pesawat udara di Indonesi. Perbedaan lain, bouraq identik dengan Islam dan garuda identik dengan Hindu sebagai agama asli masyarakat Nusantara ini.  Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu (hal 110-112) Singa dikenal sebagai raja rimba yang bisa mengendalikan rajawali atau mitos burung garuda. Penampilan singa lebih berwibawa dengan bulu-bulunya yang melingkari  kepalanya yang terkesan seperti mahkota. 

Untuk urusan ini, Hasan Tiro yang mencipta lambang GAM mampu menghentikan retina menancap pandangan pada singa yang perkasa layaknya simbol negara Singapore. Di sisi lain, lambang ini mampu mengumpulkan dukungan dari dalam dan luar negeri. Rakyat Aceh lebih cepat paham dengan kisah buraq yang dikisahkan ulang pada acara Maulid. 

Sepintas lalu, bendera GAM mirip dengan bendera Turki yang tidak memiliki dua garis hitam di bawah dan di atas. Sebaliknya, bendera Indonesia berasal dari panji-panji kerajaan Majapahit. Sejatinya,  bendera RI sama dengan bendera Monaco yaitu sama-sama Merah Putih. 

Hanya perbandingan ukuran yang berbeda. RI berbanding 2:3 dan Monaco berbanding 4:5. Simbol adalah bentuk perjuangan. Setiap orang, organisasi atau negara memiliki simbol masing-masing. 

Otto yang juga sosiolog Aceh dalam pengantar menyebutkan pada umumnya organisasi politik di mana pun memiliki empat hal simbolik yakni bendera, lambang, lagu dan slogan. Elemen ini diproduksi wujudnya dan dikonstruksi legendanya. Bahkan kalau perlu, materialnya sama sekali tidak memiliki landasan empiris. (hal. xix). 

Secara keseluruhan, penulis mengakui agak sulit menelusuri lambang-lambang GAM. Hal ini dimungkinkan karena masih langka penulis atau intelektual yang membedah pernik-pernik GAM yang juga termaktub dalam MoU Helsinki. 

Buku bersampul hitam ini akan mematuk pembaca bila simbol Bouraq-Singa dan Garuda ditampilkan berwarna. Bagaimana pun, sampul depan adalah etalase buku. 

Saya tidak paham, mengapa, penulis atau editor membiarkan menulis nama Soekarno dengan Sukarno atau Suharto dengan Soeharto yang dijumpa berulang kali. Apakah ini juga bagian protes atau ketidaksukaan penulis kepada penguasa rezim orde lama dan rezim orde baru?

--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun