Ketika kepala-kepala daerah ditangkap aparat hukum, wakil kepala daerah otomatis berkesempatan menduduki tahta.Â
Siklus dan rotasi kekuasaan yang serba terbuka memberi celah serupa. Tak sampai selesai menjalankan periode pemerintahan, sama sekali tidak ada larangan berhenti di jalan. Berpindah posisi juga dimungkinkan, yakni bertarung lagi masuk badan atau lembaga yang berbeda.
Sejauh ini, belum terjadi evaluasi komprehensif atas regulasi yang terkait kedudukan pemimpin di Indonesia. Terkecuali bagi aparatur negara yang dibatasi usia pensiun, jabatan-jabatan lain bisa diraih lewat kompetisi terbuka.Â
Konduite komisioner-komisioner terbaik dalam komisi-komisi negara, bukan berarti sertifikat gratis untuk menjabat lagi. Kalau masih punya keinginan meneruskan periode berikutnya, posisi kembali ke tahap awal.Â
Tak seperti cabang olahraga sepak bola yang mempertemukan klub-klub terbaik dalam partai perempat final, semifinal hingga final.
Tipe kepemimpinan feodal dan aristokratis kian pudar dari lanskap pemerintahan Indonesia. Tak ada lagi darah pemimpin yang berwarna biru. Semua warna kembali merah. Kompetisi terjadi di mana-mana.Â
Prestasi sebaik apapun, bisa saja tak menjadi parameter penilaian, manakala kepentingan dan kebutuhan organisasi berubah. Hanya pemimpin yang dipilih secara langsung lewat pemilihan umum yang bisa memastikan kapan hari terakhir bekerja. Mereka terikat dengan periodesasi.Â
Diluar itu? Kapan saja bisa kehilangan tampuk kepemimpinan. Seperti udara tropis memberi pengaruh lebih cepat bagi perubahan iklim.
Lanskap itulah yang membuat setiap pemimpin berwatak seperti pendaki gunung. Setiap kali melewati lembah, lereng dan tanjakan, kepala tak lantas tertengadah ke bawah.Â
Tenaga dan pikiran malah kian fokus untuk menggapai puncak. Rasa puas baru bisa menguasai rongga dada, ketika tak ada lagi puncak yang berada paling tinggi. Akhir pendakian kepemimpinan berarti sendirian bersentuhan dengan langit. Batas yang tak bisa lagi diinjak, apalagi dilalui.