Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ibu Kota Negara Tanpa Genderang Mahasiswa

27 Agustus 2019   11:45 Diperbarui: 29 Agustus 2019   07:07 1713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Strategi itu juga yang saya pakai, ketika menjadi Ketua Delegasi Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Sejarah dalam Seminar dan Musyawarah Nasional (Munas) Forum Komunikasi Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (FORKOMASA) di Universitas Riau pada tahun 1995.

Soalnya, kepengurusan FORKOMASA yang harus menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban dari UI, sama sekali tidak hadir. Mereka adalah sahabat dan senior saya yang datang di Universitas Hasanuddin pada tahun 1993.

Saya tahu betapa delegasi UI bakal dikuliti. Saya bawa mahasiswi baru asal Dumai, anak Caltex. Namanya Dyah, Angkatan 1994, adik angkat saya. Pintar luar biasa. Bacaannya luas dan dalam. Bahasa Inggris mengalir lancar. Berlidah tajam. Terlalu cepat tua gagasan untuk ukuran usianya. Pikirannya kritis dan - terkadang - kejam.

Diluar itu, saya juga ajak Dadang Budiana (Angkatan 1993) dan Yunadi Ramlan (Angkatan 1992). Dadang adalah seorang organisatoris yang berbicara tertata, berlatar aristokrasi Sumedang. Yunadi? Sebaliknya, penganut nilai-nilai  kultural Islam yang banyak becanda mencairkan situasi.

"Tidak penting Munasnya. Yang penting, seminarnya kita kuasai. Duduk menyebar. Buka jaket UI. Tak perlu sebut asal kampus, ketika berdebat. Biar peserta penasaran," begitu instruksi saya.

Benar saja, kami menguasai panggung kiri, tengah dan kanan. Dyah menjadi bintang.

Makalah saya terkait filsafat feminisme. Saya lebih banyak membongkar teori-teori filsafat terkait dengan posisi Bundo Kanduang dalam masyarakat Minangkabau. Makalah itu adalah bagian dari tugas akhir dalam kuliah yang diampu oleh sejumlah dosen kondang hingga hari ini: Tommy F Awuy, Gadis Arivia, Toety Herati dan Karlina Leksono.

Baru UI yang membuka studi feminisme secara khusus. Dosen-dosen yang mengajar juga segar-bugar, dari generasi pertama yang kelak menjadi legenda. Mbak Gadis yang masih berusia 30 tahun selalu menjadi sihir bagi mata lelaki yang sudah tak kekurangan mahasiswi cantik di Fakultas Sastra UI.

"Saya adalah seorang feminis. Feminis berbeda dengan feminin," begitu deklarasi yang saya nyatakan. 

Tentu, ucapan yang masih terdengar asing masa itu. Dan mengundang bisik-bisik. Tentu, saya banyak belajar dari kekalahan dalam pemilihan Ketua Umum Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya dan Pemilu Raya Ketua Senat Mahasiswa UI.

Begitulah. Penguasaan dalam arena seminar membuat kami percaya diri. Pada hari berikutnya, saya sudah izinkan delegasi kecil ini untuk menggunakan jaket almamater. Dadang maju dalam perdebatan menyangkut organisasi. Yunadi mencairkan suasana dengan mendekati anggota-anggota delegasi yang bakalan menjadi sandungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun