Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Spiritual Kesultanan Buton

26 Agustus 2019   03:55 Diperbarui: 27 Agustus 2019   08:20 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama dua hari, dengan perjalanan empat hari pulang-pergi ke Jakarta, saya larut dalam rangkaian kegiatan Festival Pesona Budaya Tua Buton ke-VII. Festival pertama diresmikan oleh Marie Elka Pangestu, bos saya dulu di Centre for Strategic and International Studies. Tema festival ini adalah budaya Buton dan masa depan.

Saya hadir sebagai salah satu pembedah buku tulisan Prof Dr La Niampe yang berjudul "Revolusi Mental Zaman Kesultanan Buton Abad ke-19". Yang mengundang adalah La Bakry, Bupati Buton yang sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kabupaten Buton. Walau tidak sempat menyampaikan pemikiran yang komprehensif, akibat batuk yang membuat suara saya hilang, saya tetap dipercaya sebagai moderator.

Perkenalan saya dengan Buton adalah berkat kesungguh-sungguhan La Niampe yang mengajak saya berkeliling, mulai dari Muna hingga Buton dalam lima tahun ini. La Niampe datang ke kantor kami di bilangan Blok M, ketika saya masih aktif sebagai Ketua Tim Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, Prof Dr Yuddy Chrisnandi.

Disertasi La Niampe sebagai seorang filolog kami bedah di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2015. Yuddy dan Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang waktu itu masih menjabat, berkesempatan sebagai pembahas.

Buku yang ditulis La Niampe menyadarkan saya betapa kayanya bumi nusantara dengan naskah-naskah kuno. Di Sumatera Barat, misalnya, terdapat juga sejumlah naskah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Arab Melayu asli, seperti "Syair Sunur" oleh Suryadi, senior saya di SMA 2 Pariaman yang menjadi staf pengajar di Universitas Leiden, Belanda. Saya juga ingat, terdapat semacam "catatan harian" Tuanku Imam Bonjol yang juga ditulis dalam bahasa Arab Melayu.

Tak heran, ketika mendapatkan penjelasan lebih mendalam tentang naskah yang ditulis oleh Sultan Buton ke-29 Muhammad Idrus Kaimuddin, saya seperti menemukan "jembatan pemikiran" yang tersebar dari Aceh, Minang, Riau, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Philipina, hingga Sulawesi dan Maluku. Pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat Melayu Islam kala itu.

Kita tahu, abad ke-19 selama ini lebih dikenal sebagai "Abad Perang" dalam historiografi yang mengikuti kalender kolonial. Ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda yang berdiri tanggal 20 Maret 1602 dinyatakan bangkrut tanggal 31 Desember 1799, Pemerintah Kerajaan Belanda langsung mengambil alih.

Masa hampir dua abad (1602-1799) kolonialisme ekonomi dalam bentuk penguasaan oleh perusahaan multi dan trans nasional (Multi and Trans National Corporation) Belanda, resmi berakhir. Seluruh perjanjian dagang yang ditanda-tangani antara pihak VOC dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara sepihak beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda.

Hanya saja, pada waktu peralihan itu terjadi, bumi Nusantara lagi dibanjiri dengan pelbagai perubahan dan pergolakan pemikiran terkait dengan ajaran agama Islam. Tiga perang besar yang terjadi pada abad ke-19, berkaitan erat dengan ajaran Islam yang terganggu dengan kehadiran Belanda. Yakni, Perang Paderi (1821-1837), Perang Jawa (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1904).

Kaum Paderi memang tidak dinyatakan sebagai pihak yang kalah, akibat perjanjian dengan Kaum Adat dan kesepakatan untuk melawan Belanda. Namun, Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap. Begitu juga dengan Pangeran Diponegoro yang ditipu Belanda. Srikandi Aceh, Cut Nyak Dien, juga berhasil ditangkap.

Yang menarik adalah tempat pembuangan Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro. Tanah Sulawesi menjadi tujuan. Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Manado, sementara Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado dan lalu Makassar. Sementara, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang.

Tentu, bukan tanpa alasan Belanda memilih Sulawesi sebagai tempat persinggahan terakhir yang diberikan kepada Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro bersama pengikut-pengikut setia mereka. Kala itu, Kesultanan Buton sedang bangkit dengan beragam pemikiran yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Hadist.

Sultan Buton Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851) sedang berjibaku dengan naskah-naskah yang ditulis sendiri. Berbeda dengan Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro, ternyata Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin memilih jalan damai dengan Belanda. Sikap yang kadang disalah-pahami oleh sebagian pihak.

Dalam masa persaingan dagang era VOC pada abad ke-17, salah satu lawan terkuatnya adalah Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin juga berseteru dengan Aru Palaka dari Kerajaan Bone. Kesultanan Buton lebih memilih untuk melindungi Aru Palaka. 

"Celaka saya bersama tujuh turunan, kalau Aru Palaka berada di atas tanah Kesultanan Buton," begitu sumpah terkenal dari mulut Sultan Buton ke-XI Sultan Malik Sirullah, kepada utusan Sultan Hasanuddin yang datang.

Rupanya, sebelum sumpah itu diucapkan, Sultan Malik Sirullah sudah mendapatkan informasi bahwa Aru Palaka disembunyikan bukan di atas tanah, melainkan di bawah tanah.

Aru Palaka bukan saja memiliki benteng tersembunyi di tebing Benteng Kesultanan Buton, tetapi sekaligus diberikan jabatan sebagai "gubernur" di area Kabupaten Buton kini berada. Sebagai gubernur, Aru Palaka memiliki sejumlah kekuasaan sebagai wakil dari pemerintahan kesultanan.

Setelah Sultan Hasanuddin berhasil ditundukkan VOC, Aru Palaka terbujuk untuk menjadi bagian dari pasukan tempur yang melanglang-buana ke Sumatera. Bersama dengan Kapitan Jonker dari wilayah Kepulauan Seram dan sejumlah pasukan Madura yang liat bertempur, tercatat Aru Palaka berhasil menundukkan kota kelahiran saya, Pariaman.

Sebelumnya, Pariaman gagal dicaplok oleh VOC, mengingat persenjataan yang sama-sama moderen. Pariaman berada di bawah perlindungan Kerajaan Aceh dan Turki Utsmani. Berkali-kali terjadi perang, berkali-kali seri, dengan akibat VOC kembali ke pangkalan militernya di Padang.

Baru setelah Aru Palaka, Kapiten Jonker dan pasukan Madura bergabung ke dalam pasukan VOC, pasukan Pariaman dipukul mundur. Istilah Urang Bagak Gilo Baladiang (Orang Berani Gila Berparang) konon berasal dari pertempuran di abad ke-17 itu.

Ketika saya telusuri ke Kepulauan Seram, juga sejumlah awal penyebab konflik atau peristiwa kekerasan berdarah di Maluku, saya menemukan satu fakta tentang minuman Arak Ambon (Sopi). Rupanya, sebelum menyerang kota Pariaman, pasukan Ambon terlebih dulu meminum sopi.

Akibatnya, ketika mendapatkan tembakan peluru abad ke-17 (yang mirip dengan tembakan senapan angin dengan peluru lebih besar), terasa di kulit bagai sengatan binatang berbisa seperti kalajengking atau lebah, bahkan semut. Dengan bersenjatakan parang, pun luka tembak di badan, pasukan Kapitsan Jonker terus merangsek maju, bersama dengan pasukan Madura yang menggunakan clurit. Pasukan Pariaman lari terbirit-birit.

Terus terang, peristiwa kekalahan pasukan Kota Pariaman itulah yang membuat saya begitu sering berjalan ke arah timur. Saya masuk kota Ambon ketika konflik hampir selesai. Pun ke Ternate, Tidore, Papua, belahan Maluku lain, pun tentunya Sulawesi. Di Seram, saya menemukan sejumlah laki-laki yang bertubuh tinggi besar yang ikut menjaga saya. Tubuh-tubuh yang bakal tidak kesulitan mengayunkan parang.

Di Buton, dan tentu Muna, saya menemukan sosok-sosok yang memiliki karakter berbeda-beda, sesuai dengan nomenklatur kedudukan ayah-kakek-buyut mereka di dalam naungan Kesultanan Buton. Yang belum saya injak hanya Madura, guna mencari sosok yang begitu menakutkan bagi orang-orang Pariaman pada abad ke-17 lalu.

Walau pernah dikalahkan oleh pasukan asal Bone, Seram dan Madura, tentu sebagai anak Pariaman saya tidak memiliki dendam apapun. Yang saya miliki adalah rasa persamaan nasib sebagai suku bangsa yang pernah sama-sama pernah berhadapan dengan kolonialisme ekonomi, politik dan budaya bangsa-bangsa asing.

Aru Palaka dan Kapiten Jonker sama-sama dikhianati oleh VOC. Mereka tewas bukan sebagai bagian dari pahlawan VOC, melainkan parasit yang layak dilenyapkan dengan beragam tipu muslihat.

Kesultanan Buton barangkali adalah kerajaan Islam yang terlama di belahan Indonesia Timur. Sultan-sultan Buton mengamati dari dekat akibat-akibat dari peperangan yang terjadi antara kerajaan-kerajaan nusantara lain melawan bangsa-bangsa asing. Karena itulah, Buton membangun standarisasi tersendiri.

Sejak awal abad ke-17, Benteng Buton dibangun oleh La Elangi atau Dayanu Ikhsanuddin yang merupakan Sultan Buton ke-4. Benteng itu merupakan benteng terluas di dunia. Saya sempat sampaikan kepada Prof Dr La Niampe, agar menjadikan Benteng Buton sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO.

Kebetulan, saya ikut mempengaruhi Walikota Sawahlunto Amran Nur agar tak menghancurkan bekas tambang batubara itu. Saya bersama Taufik Rahzen, Edi Utama, pun Andrinof Chaniago bertemu dengan Walikota Sawahlunto, dalam acara Musyawarah Besar Gebu Minang pada Desember 2005.

Terus terang, saya tidak mengikuti proses berikutnya. Hanya, beberapa kali saya diundang ke Sawahlunto untuk memberikan seminar, termasuk ketika menjadi Ketua Tim Ahli Yuddy Chrisnandi. Saya tentu terus memantau, atau bertanya kepada pihak terkait, terutama walikota.

Nah, apabila Benteng Buton hendak dijadikan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO, pihak pemerintahan daerah Kota Baubau atau Kabupaten Buton tinggal mengundang perwakilan Kota Sawahlunto, Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta UNESCO sendiri untuk menanyakan prosedurnya.

Makam Syech Abdul Rachman Maligano. DokPri
Makam Syech Abdul Rachman Maligano. DokPri
Apalagi, di mata saya, Benteng Buton termasuk benteng yang paling unik di seluruh dunia.
Apa? 

Benteng yang sedikit sekali berhasil menumpahkan darah. Justru yang terkubur di dalam area benteng adalah keluarga kesultanan. Saya berkesempatan memasuki "area terlarang" itu atas izin Istana Kesultanan Buton. Sultan-sultan yang berilmu tinggi, bukan hanya dalam skala lokal, namun juga nasional dan internasional. Sultan-sultan yang mewariskan begitu banyak naskah yang ketika dibacakan nukilannya oleh Prof Dr La Niampe, membuat hadirin menangis.

Ketika melanjutkan perjalanan menuju Kendari, saya sempat ziarah ke makam Syech Abdul Rahman Maligano. Dalam perjalanan tahun-tahun sebelumnya, saya memang sering mengunjungi makam-makam di Sulawesi.

Saya sedang mencari jejak Malin Kundang, seorang saudagar termasyur asal Pariaman yang mampu membuat gentar pedagang-pedagang Turki, Eropa, Arab hingga India di kawasan pantai barat Sumatera hingga Laut Banda. Saya haqul yakin, Malin tak pernah durhaka pada ibunya, apalagi sampai dikutuk menjadi batu. Malin yang diberikan phinisi oleh ayah mertuanya yang orang Bugis/Buton. 

Malin adalah nama untuk mualim atau orang alim. Sosok yang saking menakutkan bagi jalur perdagangan rempah VOC dan sekutu-sekutunya, sampai dimistikan menjadi batu. Saya sungguh heran, berdasarkan dalil aqli atau dalil naqli yang mana sebagai sumber ajaran keimanan, ketika tokoh-tokoh ulama Sumatera Barat ikut-ikutan menggali pasir di batu karang yang dianggap sebagai Kapal Malin Kundang?.

Yang membuat saya sumringah adalah pengetahuan penduduk lokal Sulawesi betapa yang membawa ajaran Islam ke Sualwesi dalam wajah yang bersahabat itu sebagian besar adalah tuanku-tuanku dari Minangkabau. Migrasi spiritual yang bisa jadi terjadi setelah Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Din Syamsuddin dan Taufik Rahzen pun menyebut peran dari tuanku-tuanku asal Minangkabau itu dalam penyebaran Islam di Nusa Tenggara Barat.

Banyak yang hendak saya tuliskan. Tapi, biarlah berhenti di sini dulu. Supaya pembaca bisa bernafas.

Jakarta, 26 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun