Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Spiritual Kesultanan Buton

26 Agustus 2019   03:55 Diperbarui: 27 Agustus 2019   08:20 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu, bukan tanpa alasan Belanda memilih Sulawesi sebagai tempat persinggahan terakhir yang diberikan kepada Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro bersama pengikut-pengikut setia mereka. Kala itu, Kesultanan Buton sedang bangkit dengan beragam pemikiran yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Hadist.

Sultan Buton Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851) sedang berjibaku dengan naskah-naskah yang ditulis sendiri. Berbeda dengan Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro, ternyata Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin memilih jalan damai dengan Belanda. Sikap yang kadang disalah-pahami oleh sebagian pihak.

Dalam masa persaingan dagang era VOC pada abad ke-17, salah satu lawan terkuatnya adalah Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin juga berseteru dengan Aru Palaka dari Kerajaan Bone. Kesultanan Buton lebih memilih untuk melindungi Aru Palaka. 

"Celaka saya bersama tujuh turunan, kalau Aru Palaka berada di atas tanah Kesultanan Buton," begitu sumpah terkenal dari mulut Sultan Buton ke-XI Sultan Malik Sirullah, kepada utusan Sultan Hasanuddin yang datang.

Rupanya, sebelum sumpah itu diucapkan, Sultan Malik Sirullah sudah mendapatkan informasi bahwa Aru Palaka disembunyikan bukan di atas tanah, melainkan di bawah tanah.

Aru Palaka bukan saja memiliki benteng tersembunyi di tebing Benteng Kesultanan Buton, tetapi sekaligus diberikan jabatan sebagai "gubernur" di area Kabupaten Buton kini berada. Sebagai gubernur, Aru Palaka memiliki sejumlah kekuasaan sebagai wakil dari pemerintahan kesultanan.

Setelah Sultan Hasanuddin berhasil ditundukkan VOC, Aru Palaka terbujuk untuk menjadi bagian dari pasukan tempur yang melanglang-buana ke Sumatera. Bersama dengan Kapitan Jonker dari wilayah Kepulauan Seram dan sejumlah pasukan Madura yang liat bertempur, tercatat Aru Palaka berhasil menundukkan kota kelahiran saya, Pariaman.

Sebelumnya, Pariaman gagal dicaplok oleh VOC, mengingat persenjataan yang sama-sama moderen. Pariaman berada di bawah perlindungan Kerajaan Aceh dan Turki Utsmani. Berkali-kali terjadi perang, berkali-kali seri, dengan akibat VOC kembali ke pangkalan militernya di Padang.

Baru setelah Aru Palaka, Kapiten Jonker dan pasukan Madura bergabung ke dalam pasukan VOC, pasukan Pariaman dipukul mundur. Istilah Urang Bagak Gilo Baladiang (Orang Berani Gila Berparang) konon berasal dari pertempuran di abad ke-17 itu.

Ketika saya telusuri ke Kepulauan Seram, juga sejumlah awal penyebab konflik atau peristiwa kekerasan berdarah di Maluku, saya menemukan satu fakta tentang minuman Arak Ambon (Sopi). Rupanya, sebelum menyerang kota Pariaman, pasukan Ambon terlebih dulu meminum sopi.

Akibatnya, ketika mendapatkan tembakan peluru abad ke-17 (yang mirip dengan tembakan senapan angin dengan peluru lebih besar), terasa di kulit bagai sengatan binatang berbisa seperti kalajengking atau lebah, bahkan semut. Dengan bersenjatakan parang, pun luka tembak di badan, pasukan Kapitsan Jonker terus merangsek maju, bersama dengan pasukan Madura yang menggunakan clurit. Pasukan Pariaman lari terbirit-birit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun