Dia datang, pada suatu pagi, ke hadapan algojo itu.
“Berikan aku luka. 35 luka lagi!” katanya, sambil membuka bajunya.
Di tubuhnya, sekuyur badannya, sudah ada 265 luka.
~~ Kain hitam terbentang, pada sosok hitam, berbaju hitam itu. Dua bolamatanyapun hitam, tersembunyi pada tutup kepala itu ~~
Sinarmataharipun tak menyengat.
Tertutup awan hitam.
Pagi yang berubah menjadi hitam.
“Berikan, kepadaku, seluruh luka-luka itu. Yang kau tebaskan kepada tubuh anak-anak muda itu, dengan cambukmu yang memerah dialiri bekas-bekas darah..”
Ia berlutut.
Ada sinar putih keluar dari kelopak matanya yang mengalir dari hatinya...
Ia bersujud, setengah tengadah, mengatupkan kedua telapak tangannya, membentuk garis-garis zaman, dalam tapa Sidharta Gautama.
Tapi, tidak ada pohon Bodi disana, yang melindungi dari sinar matahari, desau hujan, dan lalu lalang binatang-binatang liar dan buas.
~~ Tangan sang algojo terangkat. Tanpa cambuk. Urat-urat kekar itu mengendur. Nafasnyapun teratur. Ia melihat, dirinya, pada pemuda itu ~~
Seekor belalang, tanpa kaki belakang, hinggap pada punggung pemuda itu.
Tersaruk-saruk ia membawa tubuhnya.
Hawa segar, dari pori-pori tubuh pemuda itu, membuatnya terlelap.
Andai ia dulu, menjadi kepompong, pada punggung pemuda itu...
Dua ekor rajawali, yang sedang berburu, bertengger pada tiang gantungan itu.
Nanar manatap pada sang belalang.
Dan pada padang ilalang di belakang algojo itu, kelinci-kelinci berlari, anak-anak ayam bercericit, riang.
~~ Sang algojo tak juga hendak menurunkan tangannya. Ia menunjuk pada papan itu, huruf-huruf itu, kalimat-kalimat padang pasir yang baru saja ditulis, setelah menempuh perjalanan waktu, lima belas abad lebih, dalam angka Hijriyah. Tertulis: “Ini bumi Serambi Mekkah.”~~
Wajah pemuda itu tetap tengadah.
Ia tahu, ada jutaan lanun datang tiba-tiba, pada malam itu.
Malam pertemuan para malaekat dan 200.000 lebih nyawa.
Malam ketika anak-anak mendekap ibunya, ibu-ibu mendekap anaknya, lalu berdua menyerahkan jiwa-jiwa mereka.
Lalu, jutaan mata meneteskan air-mata.
Bergalon-galon air mata.
Berton-ton tinta mengaliri lembaram-lembaran koran, majalah dan buku.
Milyaran watt mengirimkan pesan-pesan nirkabel.
215 luka hinggap di tubuh pemuda itu.
Ia tenggelam, terombang-ambing, pada sela-sela kayu, tumpukan puing.
Ia tersayat, teriris, tanpa rintihan.
Ia bangkit, berjalan, memunguti anak-ibu yang berdekapan, pada air hitam itu.
“Berikan aku luka. 35 luka lagi,” katanya.
Ia sudah mencari, pada semak-semak berduri, batu-batu pecah, beling-beling berantakan pada areal pengungsian itu.
Ia hanya dapat beberapa luka, tak seberapa, 30 jumlahnya.
Ia hempaskan kepalanya, berkali-kali, pada aspal hitam itu.
Tapi hanya 1 luka yang menganga.
Bertetes-tetes darah telah mengalir, mengental, lalu hilang, lenyap, ditelan matahari.
~~ Dan sang algojo mengangkat tangannya, lebih tinggi lagi, makin tinggi. Seluruh energi disalurkan kepada gagang pedang itu. Jutaan rasa dipompakan pada urat saraf, bulu-bulu yang menegang...~~
“Allahu Akbar! Tes.....”
Sepotong kepala menggelinding.
Di hadapan pemuda itu.
Tertutup topeng hitam.
Hanya hening menyapa.
Rajawalipun tafakur.
Belalang berzikir.
Dua tangan pemuda itu meraihnya, membuka topeng itu.
Berdegup ia.
Terkesiap ia.
Ia berteriak:
“Ayah! Ayaaaaah! Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!!!!”
Jakarta, pada dua hari yang hitam, Juli 2007...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H