Bukan hanya sekali jaringan Adian mengundang saya. Saya pernah ke Lampung dalam pelatihan mahasiswa yang dengan kurikulum lebih radikal. Mahasiswa-mahasiswa itu adalah anak-anak dari kaum buruh tani, kaum miskin kota, hingga kalangan jelata di kampus mereka masing-masing. Saya beruntung, tidak ada polisi yang datang kali ini.Â
Biasanya, jika pihak yang mengundang adalah organisasi kemahasiswaan, saya bakal datang, dimanapun hutannya, sekelam apapun rimbanya, segelintir jari sekalipun pesertanya. Saya memang menulis skripsi tentang gerakan mahasiswa. Â Saya sama sekali tak melihat nama organisasi yang mengundang, apalagi warna ideologinya.
Ketika organ Pena 98 didirikan, saya ikut diundang. Mungkin Adian dan kawan-kawan berpikir, dengan cara seperti itu, kritikan tajam saya tak tertuju kesana. Setiap undangan yang berkode "98" saya anggap sebagai cemooh belaka.Â
Walau didapuk sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Reformasi yang sempat terbit dua kali dari kalangan aktivis KBUI, pun menjadi Dewan Redaksi Tabloid Moment yang mengupas lebih dalam dibandingkan dengan Harian Bergerak yang diampu Majalah Suara Mahasiswa UI, saya tak lagi berkartu mahasiswa.
Bung Muradi yang kini di Kantor Staf Presiden tentu ingat betul, bagaimana ia dengan gagah berani dan penuh nada ejekan mempersoalkan status saya yang sudah jadi sarjana dalam Munas Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) I tahun 1997 di Universitas Padjajaran. Sebagai Sekretaris Jenderal IKAHIMSI Periode I 1995-1997, Muradi menganggap saya "khianat" atas status sebagai mahasiswa.
"Apakah maksud anda, saya menyelesaikan kuliah setelah menyampaikan Laporan Pertanggung-Jawaban ini?" kata saya mempertegas kalimat menohok Muradi, namun berbelit itu.
Untunglah, perdebatan tak berlanjut. LPJ saya diterima. Saya menyerahkan sejumlah dokumen otentik. Sungguh ironis, sampai tahun 2002, Bonnie Triyana yang asal Universitas Diponegoro  menyebut nama saya masih tercatat sebagai Sekretaris Jenderal IKAHIMSI di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Â
Muradi tentu malu hati, karena kepengurusan setelah saya yang dipilih di UNPAD ternyata lebih berantakan. Walau saling bertukar kalimat-kalimat pedas, saya tentu menyimpan kebanggaan atas keterlibatan Muradi dalam peristiwa 98. Ia juga dengan cepat menyelesaikan studi doktoralnya.
Saya tidak terlalu paham warna dialog Adian Napitupulu beserta koleganya. Kami benar-benar berada dalam satu tim "demo dan aksi" yang sudah berbeda nuansa pada tahun 2014.Â
Bersama sejumlah kalangan muda, saya memilih mendukung pasangan Jokowi -- Jusuf Kalla setelah berdebat dan meminta izin Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie selama dua jam lebih di lantai 46 Wisma Bakrie.
 Saya bertemu dengan Adian dalam debat-debat di layar televisi. Adian begitu cepat "menghilang" kembali ke dapilnya. Adian setahu saya juga secara khusus menggerakan logistik ke Provinsi Bangka Belitung.