Biarlah nanti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukan riset khusus tentang fenomena ini, sembari mengeluarkan laporan independen berdasarkan kode etik keilmuan. Sungguh diperlukan riset seperti itu, dari kelompok yang paling profesional dan terdidik, serta menjaga kode etik ilmunya.
Keterlibatan para dokter senior dan berpengalaman dalam pelbagai medan, baik bencana alam, penyakit menular, bahkan yang di masa lalu ditugaskan dalam medan-medan konflik seperti penanganan separatisme di sejumlah daerah, juga diperlukan guna mendapatkan filosofi kehidupan di balik kematian, kesehatan dalam altar penyakitan. Dunia kedokteran sudah sejak berabad lampau melahirkan para filsuf dengan dasar-dasar teologi yang kaffah.
Dari kedua sosok itu, kami menaruh kepercayaan tinggi kepada ilmu kedokteran. Saya sering datang ke ruang praktek mereka, hanya untuk sekadar mendiskusikan masalah-masalah politik dan pemerintahan. Sudut pandang yang mereka pakai begitu unik. Belum lagi seorang dokter ahli akupuntur tempat saya berdiskusi tentang hukum kekekalan energi. Pun termasuk tentang nyawa.Â
Saya yakin, memang terdapat "penyakit" dalam keseluruhan kerja KPPS. Pelbagai dokumen bisa diperiksa terlebih dahulu, sebagai bagian yang terkait dengan proses "tumbuh-kembang"nya mereka dalam episentrum pemilu.Â
Audit forensik atas dokumen-dokumen itu, sejak berbentuk Undang Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga edaran terlambat yang hanya berupa pesan pendek: "eKTP bisa digunakan" sehari menjelang pemilihan.
Masa tugas yang pendek, seolah mereka bagai kerakap tumbuh di batu, hanya diperlukan untuk melihat betapa panjangnya kemarau. Honorarium yang sekadarnya, bahkan dipungutin pajak.Â
Dalam timbangan yang tak adil antara reward and punishment itu, mereka dikepung oleh banyak pihak, mulai dari KPU sebagai atasan, Bawaslu sebagai herder, pemilih sebagai tuan besar, hingga peserta pemilu yang begitu cepat naik pitam.
Apapun "penyakit sistemik" itu, silakan IDI menyampaikan apa-adanya. Yang jelas, ada sekitar 7,73 Juta lagi yang masih bisa dimintai keterangan. Sebagai sample penelitian, tentulah jumlah yang sangat banyak, bisa melahirkan ratusan buku dan karya ilmiah.
Sungguh tak masuk akal, jika yang dipersengketakan adalah mereka yang sudah dikuburkan dengan status sebagai Pahlawan Demokrasi. Mereka yang dibanggakan oleh keluarganya, warganya, hingga anggota KPPS yang masih hidup yang pernah bekerja-sama dengan mereka selama hampir sebulan.Â
Menuduh mereka ikut "bermain" atau "dikorbankan" sebagai "sesajen" pemilu adalah tudingan terhadap anggota KPPS yang masih hidup sebagai pemegang tanggung-jawab TPS-TPS tempat mereka bertugas. Tanpa ada sengketa hasil ataupun silang perkara yang terkait pekerjaan mereka di TPS tempat mereka bertugas, Â bagaimana bisa dikatakan pekerjaan mereka bermasalah?Â