Hingga hari Selasa, 7 Mei 2019, korban tewas dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berjumlah 440 orang. Sementara jumlah petugas Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sampai hari Kamis, 2 Mei 2019, adalah sebanyak 92 orang meninggal dunia.Â
Ditambah dengan 22 orang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang gugur saat menjalankan tahapan pengamanan pemilu; total jumlah yang tewas mencapai 554 orang. Jumlah itu masih ditambah dengan korban sakit atau cacat.
Dalam data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah anggota KPPS adalah 7.385.500. Jumlah seluruh anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang bertugas di masing-masing desa/kelurahan adalah 250.212 orang. Selain itu, jumlah anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) adalah 36.005.
Untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta jajarannya berjumlah 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang di tingkat provinsi, 3 (tiga) atau 5 (lima) orang di tingkat kabupaten/kota, 3 (tiga) orang di tingkat kecamatan, 1 (satu) orang di tingkat kelurahan/desa,  1 (satu) orang di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), serta 3 (tiga) orang di setiap negara yang menjadi tempat tinggal  Warga Negara Indonesia (WNI). Sampai artikel ini dibuat, saya kesulitan mendapatkan jumlah totalnya.
Pihak POLRI sendiri menerjunkan sebanyak 271.000 personil dalam pengamanan pemilu 17 April 2019. Jumlah pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang disiagakan adalah sebanyak 162.000 personil, dengan anggaran sebesar Rp. 400 Milyar. Dari jumlah itu, sebanyak 70.571 personil diperbantukan kepada pihak POLRI.
Data-data itu menunjukkan betapa besarnya jumlah manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Alokasi dana yang disediakan juga lumayan besar, yakni sekitar Rp. 10.047.105.276.
Anggaran sebesar lebih dari sepuluh trilyun rupiah itu hanya terbatas untuk pembentukan organisasi (termasuk pergantian anggota), honorarium dan belanja barang Badan Penyelenggara Pemilu yang bersifat Ad Hoc seperti PPK, PPS dan KPPS di dalam negeri.
Masa kerja PPK dan PPS adalah 3 (tiga) bulan tujuh hari, yakni dari tanggal 9 Maret hingga 16 Juni 2019. Honor yang didapatkan beragam, yakni Rp. 1,85 Juta per bulan bagi Ketua PPK, Rp. 1,6 Juta per bulan bagi anggota PPK, Rp. 1,3 Juta per bulan bagi Sekretaris PPK, serta Rp. 850.000,- per bulan bagi pelaksana, staf administrasi atau teknisi. Ketua PPS diberi honor Rp. 900 Ribu per bulan, anggota Rp. 850 Ribu per bulan, sekretaris Rp. 800 Ribu per bulan, serta Rp. 750 Ribu per bulan bagi pelaksana, staf administrasi atau teknisi.
Untuk Ketua KPPS, sebagaimana sudah diketahui, menerima honor sebesar Rp. 550 Ribu per bulan, anggota KPPS sebesar Rp. 500 Ribu per bulan, serta LINMAS sebesar Rp. 400 Ribu per bulan. Berbeda dengan PPK dan PPS yang bekerja selama tiga bulan tujuh hari, maka masa kerja KPPS hanya satu bulan, yakni dari tanggal 10 April hingga 9 Mei. Artinya, sejak kemaren, status sebagai Ketua, Anggota dan LINMAS KPPS seluruhnya berakhir. Yang masih bertugas hingga 16 Juni 2019 nanti hanyalah petugas PPK dan PPS.
Dengan total jumlah petugas KPPS sebanyak 7.738.500 itu, ternyata membawa korban jiwa dalam jumlah yang banyak, yakni 440 orang. Jumlah yang sakit mencapai 3.788 orang. Persebaran jumlah yang sakit itu tidak mengenal desa atau kota, Jawa atau luar Jawa. Bahkan, tidak juga usia muda, dewasa atau tua.
Biarlah nanti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukan riset khusus tentang fenomena ini, sembari mengeluarkan laporan independen berdasarkan kode etik keilmuan. Sungguh diperlukan riset seperti itu, dari kelompok yang paling profesional dan terdidik, serta menjaga kode etik ilmunya.
Keterlibatan para dokter senior dan berpengalaman dalam pelbagai medan, baik bencana alam, penyakit menular, bahkan yang di masa lalu ditugaskan dalam medan-medan konflik seperti penanganan separatisme di sejumlah daerah, juga diperlukan guna mendapatkan filosofi kehidupan di balik kematian, kesehatan dalam altar penyakitan. Dunia kedokteran sudah sejak berabad lampau melahirkan para filsuf dengan dasar-dasar teologi yang kaffah.
Dari kedua sosok itu, kami menaruh kepercayaan tinggi kepada ilmu kedokteran. Saya sering datang ke ruang praktek mereka, hanya untuk sekadar mendiskusikan masalah-masalah politik dan pemerintahan. Sudut pandang yang mereka pakai begitu unik. Belum lagi seorang dokter ahli akupuntur tempat saya berdiskusi tentang hukum kekekalan energi. Pun termasuk tentang nyawa.Â
Saya yakin, memang terdapat "penyakit" dalam keseluruhan kerja KPPS. Pelbagai dokumen bisa diperiksa terlebih dahulu, sebagai bagian yang terkait dengan proses "tumbuh-kembang"nya mereka dalam episentrum pemilu.Â
Audit forensik atas dokumen-dokumen itu, sejak berbentuk Undang Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga edaran terlambat yang hanya berupa pesan pendek: "eKTP bisa digunakan" sehari menjelang pemilihan.
Masa tugas yang pendek, seolah mereka bagai kerakap tumbuh di batu, hanya diperlukan untuk melihat betapa panjangnya kemarau. Honorarium yang sekadarnya, bahkan dipungutin pajak.Â
Dalam timbangan yang tak adil antara reward and punishment itu, mereka dikepung oleh banyak pihak, mulai dari KPU sebagai atasan, Bawaslu sebagai herder, pemilih sebagai tuan besar, hingga peserta pemilu yang begitu cepat naik pitam.
Apapun "penyakit sistemik" itu, silakan IDI menyampaikan apa-adanya. Yang jelas, ada sekitar 7,73 Juta lagi yang masih bisa dimintai keterangan. Sebagai sample penelitian, tentulah jumlah yang sangat banyak, bisa melahirkan ratusan buku dan karya ilmiah.
Sungguh tak masuk akal, jika yang dipersengketakan adalah mereka yang sudah dikuburkan dengan status sebagai Pahlawan Demokrasi. Mereka yang dibanggakan oleh keluarganya, warganya, hingga anggota KPPS yang masih hidup yang pernah bekerja-sama dengan mereka selama hampir sebulan.Â
Menuduh mereka ikut "bermain" atau "dikorbankan" sebagai "sesajen" pemilu adalah tudingan terhadap anggota KPPS yang masih hidup sebagai pemegang tanggung-jawab TPS-TPS tempat mereka bertugas. Tanpa ada sengketa hasil ataupun silang perkara yang terkait pekerjaan mereka di TPS tempat mereka bertugas, Â bagaimana bisa dikatakan pekerjaan mereka bermasalah?Â
Sungguh  "beban dari alam kubur" yang mereka bawa adalah cerminan dari penyakit sistemik para penuduhnya. Penyakit dari kalangan konspirator yang sudah kehilangan akal sehat.Â
Jangan-jangan, akibat Monumen Lingga Yoni terbesar di muka bumi sebagai jelmaan alat kelamin Dewa Shiva dan Dewi Uma masih dalam keadaan telanjang, pikiranpun sudah kehilangan logikanya?
Jumat, 10 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H