Satu agenda paling penting yang sempat digagas beberapa kawan gagal terlaksana selama masa kampanye pemilu serentak 2018-2019. Saya sudah berusaha mengadakan satu acara dialog yang mempertemukan tokoh-tokoh dari kedua-belah kubu.Â
Sayang, Bang Ferry Mursidan Baldan tiba-tiba tidak ada kegiatan mendadak. Yang berbicara berdua saja, Denny Charter dari Index Politika dan Isra Romli. Isra menjadi calon anggota DPD RI dengan  daerah pemilihan Kalimantan Utara. Sayangnya, kami tidak berusaha lebih keras guna mempertemukan kedua belah kubu pendukung Capres dan Cawapres.
Singkatnya, kalangan Cebong dan Kampret jarang bertemu dalam meja yang sama. Akibatnya, suasana kampanye selalu berlangsung panas, terutama di media sosial.Â
Cebong dan Kampret bertempur siang dan malam, memperkarakan apapun. Suasana kampanye yang seyogianya mempertemukan ide-ide terbaik, seakan hanya perang saling menjatuhkan, menyalahkan dan mengalahkan. Bukan gagasan-gagasan bagus yang muncul dari pihak lawan yang dikoleksi, melainkan kelemahan, kesalahan dan keburukannnya.
Untunglah, dalam skala kecil, hubungan baik antara kalangan pendukung capres dan cawapres berhasil digalang. Pelakunya adalah Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI).Â
Belakangan, saya dan sejumlah teman berhasil menghimpun sejumlah calon anggota legislatif semua partai politik, baik di tingkat pusat atau daerah, dari kalangan alumni UI. Sejumlah pertemuan berhasil dijalankan, walau belum maksimal. Data-data alumni UI dikumpulkan, guna dibantu menjelaskan ke masyarakat.
Kabar baik pertemuan Cebong dan Kampret di kalangan Civitas Akademika UI itu adalah awal bagi kepentingan yang lebih besar. Siapapun yang terpilih, menjadi kewajiban bagi anggota yang lain guna memberikan dukungan, baik dalam hal gagasan, pemikiran, maupun kritisisme. Bagi yang belum terpilih, tersedia kesempatan untuk membangun komunitas politik yang lebih sehat, nalar dan berbasis ilmu pengetahuan.Â
Sudah saatnya basis-basis akademis terlibat penuh dalam menyuburkan demokrasi. Sebab, komunitas akademiklah yang telah bersusah-payah melahirkan bangsa Indonesia. Rata-rata politisi nasional era kemerdekaan berasal dari kalangan kampus.
Dalam spektrum yang lebih luas, kiranya alumnus-alumnus kampus yang lain juga melakukan upaya yang sama. Atau mungkin sudah lebih baik lagi. Dengan bersandarkan kepada kampus, upaya dialog dan iklim demokratis lebih bisa dipelihara. Kegagalan angkatan-angkatan perubahan sejak awal abad lalu adalah sama sekali tak membangun kultur politik yang berakar kuat pada ephistemic community.
Masing-masing angkatan hanya membanggakan torehan sejarah yang mereka lakukan. Angkatan 1945, misalnya, selama dua puluh tahun menguasai arena perpolitikan nasional. Sementara Angkatan 1966 jauh lebih lama lagi, selama lebih dari tiga dekade.
Dengan kemunculan Generasi Y dan Generasi Z dalam arena perpolitikan mutakhir, kiranya perlu juga untuk mengingatkan agar Angkatan 1998 lebih bercermin diri lagi. Jangan sampai Angkatan 1998 terlambat mengundurkan diri dari pentas utama politik, yakni berada di barisan depan.Â