Pilpres memang telah mengubah sejumlah karakter dalam berkomunikasi, terutama nuansa like or dislike yang tercipta.
Saya lebih banyak menjadi seseorang yang sedang memaparkan sejumlah hal, Kak Siti sebagai pihak yang bertanya dan mendengarkan. Analisa yang tentu juga subjektif, karena saya adalah pimpinan relawan Jokowi - Ma'ruf Amin. Namun, guna mengurangi kesan itu, saya juga membawa seorang calon legislator dari partai politik pengusung Prabowo - Sandiaga Uno.
Sadar betapa saya mulai dominan, saya mengambil peran jadi moderator: mempersilakan kawan-kawan saya bertanya. Atau, Kak Siti yang mengajukan pertanyaan. Kami membahas aspek-aspek yang beragam, dari soal politik, lingkungan, statuta kementerian, sampai kehutanan. Tentu, saya juga menyampaikan hasil telisik putra Kak Siti yang menjadi calon legislator dari daerah pemilihan Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Kak Siti kaget juga.
Tentu yang paling saya sukai adalah melakukan investigasi lewat pertanyaan-pertanyaan ringan. Apalagi kalau bukan cerita di balik layar tentang rapat-rapat kabinet. Pun tentang bagaimana Pak Jokowi memimpin kabinet, sampai berhubungan dengan para menteri yang beragam latar belakang.Â
Yang saya ingin lebih tahu adalah kalimat-kalimat yang genuine, bukan ucapan seorang juru bicara presiden apalagi juru debat dalam Pilpres.
Bagaimana tentang kabut asap? Itu antara lain yang kami utarakan. Kak Siti bilang, bukan soal kebakaran hutan yang menjadi inti persoalan.
"Kepada kawan-kawan di Riau saya jelaskan, bukan kebakaran hutan itu yang menjadi inti. Satu hal yang berbeda dengan sebelumnya adalah Indonesia tidak lagi mengekspor kabut asap ke luar negeri," jawab Kak Siti, tanpa perlu membenarkan atau menyalahkan keterangan Pak Jokowi dalam debat pilpres.
Yang paling penting tentu informasi Kak Siti tentang hutan sosial. Masyarakat bisa mengajukan kepada kementerian tentang status hutan sosial yang hendak dibentuk. Dengan konsep hutan sosial ini, warga memiliki semacam kemandirian untuk melestarikan lingkungan, sekaligus mengambil manfaat maksimal dengan bantuan penuh dari pemerintah.Â
Kak Siti menyebut daerah-daerah yang memiliki hutan sosial yang masih terjaga baik, termasuk Sumatera Barat. Ya, Sumbar memiliki konsep hutan adat. Tanah adalah harta pusaka tinggi yang tidak boleh diwariskan, apalagi sampai dijual kepada pihak manapun.
Yang bagi saya baru, juga genuine, adalah perintah Pak Jokowi untuk membangun seluruh desa yang berada di kawasan hutan (baik hutan alam ataupun hutan buatan) sesuai dengan standar seluruh desa lainnya.
Kak Siti sakit kepala dengan perintah itu. Banyak sekali desa-desa itu terbentuk dari perambah hutan, atau buruh perkebunan. Mereka hanya sementara berada di desa bayangan itu, sampai waktunya habis atau pekerjaannya selesai. Saya langsung teringat kawan saya, Denny Indrayana. Denny mengaku kepada saya betapa sedihnya dia, tidak lagi bisa kembali ke desa tempat dia lahir.Â