Ketika bertamu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama sejumlah anggota Sang Gerilyawan Nusantara minggu lalu, saya merasakan suasana berbeda.Â
Terasa sekali sentuhan seorang ibu dari mulai tempat parkir, lobby, hingga ruang kerja menteri. Lebih rapi, harum dan tertib.Â
Yang berbeda hanya ruang kerja Siti Nurbaya, Menteri KLHK RI. Kak Siti, saya memanggilnya, sama sekali tidak mengubah ruang kerjanya, dibandingkan dengan pertama kali masuk ke sana.
Saya kebetulan pernah bertandang, pada saat seluruh ruangan dimofifikasi, peralatan kantor terbatas, juga pegawai pemerintah masih sedikit.Â
Bagaimana tidak, dua kementerian digabung menjadi satu kementerian. Dibutuhkan kepemimpinan yang integratif, fleksibel, tetapi juga taat regulasi.Â
Kak Siti berhasil menjalankan dengan dingin amanah yang diberikan, nyaris tanpa gejolak. Kompetisi dan kontestasi antar pejabat yang berbeda kapal itu disinergikan untuk memperkuat kementerian.
Saya masih ingat, betapa kesulitannya satu kabupaten di Riau dalam menyelesaikan pembangunan jalan yang melewati blok minyak asing dan sekaligus hutan lindung. Ketika mereka datang ke kantor Kak Siti, peta yang digunakan masih berbentuk kertas-kertas yang menumpuk. Peta digital sama sekali belum ada.Â
Konflik kepentingan banyak terjadi, termasuk di area-area perkebunan dan pertambangan yang luas. Untunglah, belakangan, Badan Informasi Geospasial berhasil merampungkan peta terbaru Indonesia yang diambil dari dasar laut hingga puncak gunung.
Kami berbincang lumayan lama dengan Kak Siti, hampir dua jam. Karena bayang-bayang senja sudah terlihat, saya yang undur diri dan pamit. Kak Siti sama sekali tak memperlihatkan situasi sedang terburu-buru, misalnya dengan melirik jam tangan. Bahkan, nada suaranya masih bernada "kangen" untuk terus berdiskusi dengan kami.Â
Sejak malam Kak Siti sudah berikan waktu, lalu pagi-pagi sekali mengatakan untuk mundur satu jam. Rupanya, waktu yang diberikan bukan jam kejepit, tapi the golden time pada saat Aparatur Sipil Negara sudah bersiap hendak pulang.
Kami berbincang tentang banyak hal, hilir-mudik. Kak Siti mengaku kesulitan menyimak perdebatan di layar televisi. Ia merasa kehilangan perspektif, akibat suasana perdebatan antar politisi ataupun pengamat yang bernada emosional. Kedalaman informasi sulit diraih, begitu juga keluasan analisa.Â