Kenapa saya katakan begitu? Sebab, ketika Partai Golkar dilanda "badai" dua kepengurusan, saya adalah Ketua Balitbang dan sekaligus Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kajian dan Kebijakan yang dipimpin Pak Agung Laksono, sekaligus Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumatera Selatan dengan Ketua Harian Pak Alex Noerdin.Â
Sementara, Pak Alex Noerdin sendiri adalah Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Selatan versi Ketua Umum Aburizal Bakrie. Di depan saya sendiri Pak Agung menelepon dan meminta persetujuan Pak Alex Noerdin, dengan menyebut nama saya sebagai Ketua PLT. Pak Alex langsung setuju, mengingat saya ikut dalam proses pemenangan beliau ketika maju pertama kali sebagai Calon Gubernur Sumatera Selatan.Â
Sebagai bahan laporan kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto, Pak Agung meminta saya mengajukan dua jari, sebagai nomor urut Ahok. Pak Agung juga memasang dua jarinya.
"Siap, Pak. Tapi dua jari saya adalah simbol victory, bukan nomor urut Ahok," ucap saya. Pak Agung tertawa. Foto itu saya kirimkan ke smartphone Pak Agung dan Dave Loksono. Saya langsung pulang, setelah terlebih dahulu meminta asbak rokok berbentuk elang yang ada di ruangan keluarga Pak Agung. Elang tak pernah terbang berkelompok. Pak Agung mengizinkan asbak itu berada di ruangan kerja saya di rumah.
Saya pamit, karena Pak Agung langsung pergi ke luar negeri. Kami berjanji bertemu lagi satu minggu kemudian.
Di perjalanan, foto saya dan Pak Agung Laksono yang mengacungkan dua jari muncul di akun twitter. Sejumlah kawan yang mendukung Ahok langsung berucap, "Welcome back, IJP!" Entah darimana mereka mendapatkan foto itu. Kepada anggota-anggota saya yang aktif di media sosial, saya langsung instruksikan untuk tak menanggapi foto itu, apalagi sampai memberikan klarifikasi. Saya tak bereaksi.Â
Pun di hari-hari berikutnya. Saya mengurangi cuitan demi cuitan di akun saya, sehingga tak lagi menjadi bahan berita yang dicomot oleh media online. Saya memilih membaca puisi dari kampung ke kampung, dalam acara untuk Anies - Sandi. Sebagai Panglima Besar Sang Gerilyawan Batavia, saya lebih memilih untuk bekerja di akar umbi, ketimbang di bawah bidikan kamera televisi ataupun fotografer media politik.
Pak Agung Laksono adalah Ketua Dewan Pakar Partai Golkar. Di bawah Pak Agung, ada nama Titiek Soeharto sebagai salah satu Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar. Ketika foto Titiek muncul di media bersama Anies - Sandi, reaksi keras langsung muncul dari DPP Partai Golkar. Teguran melayang. Beberapa akun mention saya, namun saya sama sekali tak bereaksi.
Kenapa Mbak Titiek Soeharto dapat teguran, sementara saya tidak? Begitu pertanyaan yang diajukan. Ada gerak politik yang tampak, ada juga yang tidak. Itu juga yang terjadi dengan EA sekarang. Saya tidak tahu, apakah EA sudah melakukan komunikasi dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto.Â
Kalau ada, apakah Airlangga memberikan rambu-rambu sekaligus ranjau-ranjau yang wajib dihindari tokoh sekaliber EA? Yang dibaca publik, EA menyatakan non aktif, sementara DPP Partai Golkar menyikapi dengan memberhentikan EA dari jabatan Ketua Bidang Koperasi dan UKM DPP Partai Golkar.
Tapi, bukan Partai Golkar namanya, kalau tak bisa menyelesaikan persoalan yang pelik sekalipun. Posisi EA langsung digantikan oleh Andi Rukman Nurdin (ARN). Siapapun di lingkaran pohon beringin tahu, ARN memiliki kedekatan emosional dan intelektual dengan EA. ARN kebetulan maju sebagai Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI).Â