Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Elegi Bisu Prabowo Subianto

23 Februari 2019   21:36 Diperbarui: 24 Februari 2019   13:19 2894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: TRIBUNNEWS/HERUDIN

Dil uar itu, saya tentu paham faktor psikologis seorang Prabowo. Nama Subianto yang ia sandang berasal dari pamannya yang tewas diberondong Jepang dalam masa awal kemerdekaan.

Subianto adalah perwira muda belia yang satu kesatuan dengan Daan Mogot: Kepala Intelijen Militer Indonesia pertama yang juga tewas di usia muda. Sikap ksatria seorang Prabowo lebih banyak dipengaruhi oleh nama Subianto yang ia sandang, ketimbang pengaruh ayahnya. 

Tentu banyak isu "seram" tentang Prabowo, termasuk perlakuan kepada anak buahnya. Isu yang langsung padam ketika saya melihat Prabowo memanggil Pius Lustrilanang dengan "Si Botak" di depan ribuan massa Anies-Sandi. 

Panggilan itu menyadarkan saya betapa Prabowo bukanlah sosok otoriter atau kejam sebagaimana isu yang berkembang. Pius tetap menjadi Pius. Fadli tetap menjadi Fadli. Muhamnad Taufik tetap menjadi Taufik. Ferry Juliantoro tetap menjadi Ferry. Mereka tak berubah menjadi orang-orang yang berkarakter dependent, apalagi menjadi tiruan Prabowo.

Walau seorang orator, Prabowo tetap berada di jalan yang sepi. Pelbagai body language yang ia peragakan, termasuk dengan menari atau dipijit oleh Sandi, menunjukkan betapa ia bukan orang yang semenakutkan isu-isu "seram" itu. 

Waktu tidak berpihak kepadanya. Dunia berubah. Indonesia berubah. Orasi kini sudah bukan lagi milik seorang strong leader. Setiap orang bisa bikin orasi sendiri via media sosial, mau Abu Janda atau Abu Duda sekalipun. Nasionalisme tua sudah selesai. Kooperativisme adalah jalan yang banyak ditempuh oleh beragam negara. 

Saya ingat, betapa Kabinet Indonesia Muda dan Kelas Indonesia Muda yang kami kelola selama belasan tahun pernah begitu terpukau kepada Hugo Chavez. Chavez seorang nasionalis. Ia bagikan hasil nasionalisasi perusahaan minyak raksasa asal Perancis kepada rakyat miskin di pedesaan.

Bagaimana nasib Venezuela setelah itu? Atau Thaksin Sinawatra yang pernah saya saksikan langsung pidato di depan massa aksi yang mayoritas adalah kaum tani dari pelosok-pelosok Thailand di Lapangan Sanam Luang, Bangkok. Thaksin dijatuhkan via kudeta militer. 

Diksi Prabowo memang hebat. Tapi Indonesia tak sedang berperang. Indonesia sedang memandu generasi yang lebih baru untuk memimpin bonus demografi dalam Satu Abad Kemerdekaan: 2045. Tentu juga anak-anak muda yang berbaris bersama Prabowo hari ini... 

Jakarta, 18 Februari 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun