Nama Fadli juga terpampang dalam majalah Time sebagai intelektual di belakang Prabowo. Dua kutub pendapat muncul: Prabowo adalah the rising star atau Prabowo adalah the sunshine leader yang bakal ikut kapal Orde Baru yang akan tenggelam.Â
Saya lebih memilih untuk menyepi ke Kabupaten Tangerang, ketika perang bintang terjadi. Saya hadir dalam panggung orasi di depan kantor PDI Jalan Diponegoro setelah Kongres PDI Medan.
Saya juga jadi saksi mata Peristiwa 27 Juli 1996. Namun, aktivitas saya setelah selesai kuliah pada Agustus 1997 adalah mengawaki majalah Sinergi yang khusus bicara tentang pendidikan.
Tiga kawan saya juga ikut, yakni Sugeng P Syahrie (yang mengajak), Luthfi Mustofa dan Agung Pribadi. Walau bekerja di Tangerang, saya tetap kost di Jalan Margonda Raya, Depok. Di Tangerang itu saya kehilangan banyak dokumen penting kemahasiswaan, termasuk ijazah asli, naskah novel dan lain-lain. Kontrakan saya dijebol maling dokunen.
Tentu saya terkejut dengan penculikan banyak aktifis, termasuk penahanan sejumlah kawan saya sejak di kampus, terutama yang bergabung dengan PRD. Baru pasca pemilu 1999 saya balik lagi ke Jakarta, bekerja di Apartemen Rasuna bersama kelompok Faisal H Basri dan kawan-kawan.Â
Pengenalan saya dengan Prabowo dimulai lagi waktu Konvensi Nasional Partai Golkar. Seterusnya, ketika saya menjadi Wakil Sekjen Badan Pengurus Harian HKTI yang bermarkas di Ragunan. Saya juga mengikuti Prabowo yang hadir dalam kampanye terbuka Anies - Sandi di Lapangan Banteng.
Prabowo menurut saya adalah sosok intelektual. Sekalipun ayahnya pernah melawan Soekarno, Prabowo seperti prototipe dari Soekarno. Mungkin ia termasuk orang yang semasa muda mendengarkan pidato-pidato Soekarno di radio atau televisi selama hidup di pengasingan.Â
Selama menjadi tentara, Prabowo termasuk jenderal yang sadar kamera. Barangkali, dibandingkan dengan semua jenderal lain, Prabowo paling banyak dokumen fotogenik dalam beragam momen, baik yang heroik atau biasa.
Di masa kini, foto-foto seperti itu mungkin disebut sebagai pencitraan. Yang saya ingat adalah Prabowo juga memberikan baret merah kepada Pangeran Yordania.
Belakangan, ketika Prabowo ke Yordania dalam masa pemerintahan BJ Habibie, ia memiliki perusahaan minyak sebagai konsesi Oil for Food yang diizinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sebagai orang yang juga membaca buku-buku militer, tentu saya memiliki pertanyaan: bukankah seorang Jenderal Komando adalah sasaran tembak utama para musuh militer? Bagaimana bisa dengan posisi itu, justru begitu banyak pose publik yang diperagakan Prabowo? Bukankah makin tersembunyi dan misterius seorang Jenderal Komando, makin sulit mencari kelemahannya?Â