Krabi Town adalah kota yang tenang. Namun dalam radius 30-60 menit, engkau akan mendapatkan pemandangan pantai-pantai yang cantik dan kepungan batu kapur (limestone) yang bagaikan perhiasan. Warga Muslim juga cukup banyak di sini, sehingga tak sulit menemukan makanan halal dan masjid. Sesekali aku biarkan dia bicara bicara kepada orang-orang lokal. Melatih keberanian bicara kepada orang asing sering kali bukan perkara mudah, Kawan. Pernah, ketika aku sedang menemui tamu relasi penerbitku, orang Denmark, kutinggalkan dia sendirian bersama tamuku. Menjebak sekaligus memaksanya untuk bicara bahasa Inggris. Memang harus begitu, menurutku. Saat menyewa perahu di Krabi, kudorong dia untuk berani bercakap-cakap dengan si pemilik perahu yang Inggrisnya agak lancar walau terpatah-patah. Sesuatu yang kusengaja untuk melatih telinganya mendengar bahasa asing ini dalam berbagai aksen. Dia menikmati setiap momennya. Berinteraksi dengan penduduk negara lain.
***
Aku tinggal bersama kakek dan nenekku di rumah tua tak jauh dari stasiun Tugu. Masa SMA di Yogya aku lalui dengan mulus. Hilanglah semua ketakutan dan ketidaknyamanan yang kurasakan di Jakarta. Dengan teman-teman yang wataknya lebih santai, tenang, sederhana, dan polos, aku menikmati kehidupanku di kota kelahiran ibuku ini. Aku bahkan sering malas ke Jakarta saat liburan dan minta orangtuaku saja yang ke Yogya. “Dia sudah terlalu cinta sama Yogya. Mana mau dia disuruh ke Jakarta,” kata pamanku kepada ibuku suatu hari. Tanpa hambatan berarti, tahu-tahu aku sudah lulus SMA. Melihat bocah pindahan ini—yang berperingkat 39 dari 41 murid waktu kelas 2 SMA, namun menjadi lulusan ber-NEM 51,60; tertinggi kedelapan di SMA, teman-teman merasa berhak mencorat-coret seragamku dengan tulisan dan gambar macam-macam. Dan dengan nilai Bahasa Inggris tertinggi nomor satu di sekolah, aku harus merelakan rambutku diolesi lem kayu, sebelum akhirnya dibentuk jadi jambul ayam dan disemprot cat pilox warna-warni. Jadilah aku satu-satunya lulusan berambut mohawk ajaib pada hari yang indah itu, sekaligus menjadi objek untuk foto bersama. Butuh setengah botol sampo untuk menormalkan rambutku. Itu pun setelah lolos dari adangan kakek dan nenekku yang shock berat melihat rambut cucunya dipermak begitu rupa.
***
***
Tahap perjuanganku berikutnya sama saja seperti jutaan lulusan SMA lainnya. Tahun pertama UMPTN, aku gagal, tapi masih diterima di program D3. Dua tahun kemudian, aku coba lagi dan kali ini berhasil masuk ke Fakultas Sastra di universitas yang sama. Masa-masa kuliah berjalan cukup mulus, dengan drama di sana-sini yang tak perlu kuceritakan sekarang. Terkadang, aku jenuh. Merasa tak banyak yang bisa kudapatkan di bangku kuliah, aku mencari kegiatan lain yang lebih asyik. Bergabung dengan pers mahasiswa, sekaligus bergabung dengan drum band universitas. Masing-masing mengantarkan kesenangan dan pelajarannya sendiri-sendiri. Sembari kuliah, sempat pula aku “bermain-main” jadi wartawan di sebuah majalah entrepreneur. Ini mengantarku ke Hong Kong untuk meliput tentang TKW di sana. Tentu saja, aku menyempatkan diri berkeliling di kota modern tersebut, ditambah jalan-jalan ke dua kota di Cina selatan: Shenzhen dan Guangzhou. Nafsu keliling dunia mengganas dari sini.
***
Setelah Krabi, kami menuju ke selatan, ke Hatyai. Dari sana, kami akan naik bus malam ke Malaysia. Uang baht kami betul-betul tinggal recehan. Tapi masih cukup untuk membeli beberapa potong buah pepaya dan nanas plus sebotol air mineral untuk sekadar ganjal perut. Malamnya kami berangkat ke Kuala Lumpur, bermain seharian di sana, sebelum terbang pulang ke Bandung. Kawan, perjalanan mengajarkan kami bahwa hidup itu lebih mudah jika dijalani dengan pasangan yang cocok denganmu. Konon, sifat asli seseorang akan keluar atau kelihatan saat melakukan perjalanan (traveling) bersama. Tapi dalam perjalanan itu juga, kita bisa belajar untuk lebih saling mengenal, menyesuaikan, dan memaklumi sifat pasangan kita.
***
Aku menyelesaikan ujian skripsi dengan nilai A- hari itu. Keluar dari ruang ujian, tak ada siapa pun yang menyambut. Hampir semua teman seangkatanku sudah lulus. Dengan kelulusanku hari itu, tinggal tiga orang yang belum rampung juga mengerjakan skripsinya. Tanpa memedulikan acara wisuda, aku pergi ke Jakarta. Bagaimana lagi? Pekerjaan relatif lebih mudah didapat di kota ini. Setelah dua minggu menjadi sales kutu kupret di sebuah galeri lukisan, aku menemukan pekerjaan yang lebih baik: instruktur bahasa Indonesia untuk orang asing. Pekerjaan yang menyenangkan! Beberapa bulan sebelumnya, aku bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa internasional. Organisasi itu punya program kerja magang di negara-negara lain. Setelah pulang pergi naik motor bebekku dari Yogya ke Semarang beberapa kali, singat cerita aku dinyatakan lolos ujian dan berhak menjadi calon magang. Setahun kemudian, aku mendapatkan pihak yang tertarik dengan CV-ku: sebuah sekolah swasta di Ukraina mencari guru bahasa Inggris. Aku diterima.