Mohon tunggu...
Indra Joko
Indra Joko Mohon Tunggu... Administrasi - OK

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pizza Terakhir

13 November 2024   16:30 Diperbarui: 13 November 2024   16:32 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah langit-langit pabrik yang rendah dan pengap, mesin-mesin terus meraung, menggiling waktu, menghisap tenaga kami tanpa henti. Aku memandang tempat ini untuk terakhir kalinya. Ruang pabrik yang kaku, dinding-dindingnya yang berlumur jelaga dan minyak, dan lantai beton dingin yang seolah memantulkan bayangan diri. Berapa lama aku di sini? Setahun? Dua tahun? Aku sudah kehilangan hitungan. Semua hari bercampur menjadi satu, dalam ritme lembur yang meremukkan tubuh dan upah yang tidak pernah cukup untuk hidup.

Hari ini hari terakhirku. Besok, aku tak akan lagi di sini, tak akan lagi mendengar suara mesin yang seperti monster besi yang lapar, mendesakku lembur demi lembur. Sudah lama aku berpikir untuk pergi, meninggalkan pabrik ini, dan akhirnya, hari itu tiba juga.

Tapi pergi dari sini tidaklah mudah. Ada tradisi yang harus dipenuhi, sebuah tanda perpisahan yang diam-diam dianggap wajib. Setiap orang yang akan resign harus mentraktir semua orang---pizza. Mengapa harus pizza? Mungkin karena itu makanan yang paling mudah dibagi-bagi, paling terlihat mewah di antara nasi bungkus atau gorengan murahan yang biasa kami makan. Entahlah. Yang jelas, saat seseorang meninggalkan pabrik ini, mereka diharapkan meninggalkan "kenang-kenangan" berupa kotak pizza yang melingkar di atas meja ruang istirahat. Dan hari ini, giliran aku yang memberikan "kenang-kenangan" itu.

Namun, kenyataannya tidak seindah yang terlihat. Aku hanya punya sisa uang dari gaji terakhir, dan itu pun nyaris tak cukup. Tapi aku tak punya pilihan. Aku tahu pandangan mereka, ucapan-ucapan kecil saat aku lewat, seolah mereka menuntut tanda perpisahan itu. Mereka tidak peduli pada nasibku, tidak peduli apakah aku punya cukup uang untuk bertahan sampai mendapat pekerjaan berikutnya. Mereka hanya peduli pada potongan pizza.

Dengan berat hati, kuberikan sebagian besar dari sisa gajiku untuk membeli beberapa kotak pizza. Perutku kosong, bahkan sisa untuk makan malamku pun tak ada lagi. Dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri: ini yang terakhir. Tak akan ada lagi lembur yang tak terbayar, tak akan ada lagi uang yang kuberikan cuma-cuma untuk sekadar menghormati tradisi.

Seusai traktiran itu, aku duduk di ruang istirahat bersama mereka. Rekan-rekan kerjaku tampak senang, berbisik-bisik sambil melahap potongan pizza itu dengan lahap. Pizza keju, pepperoni, dan ayam pedas... rasa-rasanya, mereka lebih menikmati kepergianku daripada kehadiranku di sini selama ini.

Aku pura-pura tersenyum, menunggu hingga semua orang selesai. Satu demi satu, mereka meninggalkan ruang istirahat, kembali pada kesibukan masing-masing. Saat semua pergi, aku memandangi kotak-kotak pizza yang tersisa. Hanya satu potongan terakhir yang tersisa di salah satu kotak. Potongan kecil yang nyaris tak tersentuh, dibiarkan tergeletak seolah itu sisa yang tak lagi diinginkan. Mungkin mereka pikir itu tak layak, mungkin juga mereka sudah cukup kenyang.

Aku bangkit, melangkah keluar dari ruang istirahat, menahan rasa lapar yang terus mendesak. Tapi, baru beberapa langkah, aku berhenti. Potongan pizza itu kembali terlintas di pikiranku, mengundang dengan aroma sisa-sisa keju yang samar. Perutku mulai bergejolak, memohon pada akal sehatku untuk mengambil potongan terakhir itu. Tak peduli bahwa aku sudah mentraktir mereka, aku yang membelinya, aku yang berhak mendapatkan apa yang tersisa.

Akhirnya, kutekan perasaan ragu itu dan kembali ke ruang istirahat. Langkahku terasa berat, diiringi oleh bunyi mesin-mesin yang memekakkan telinga. Namun, saat aku tiba di ambang pintu, pemandangan di hadapanku membuatku tertegun.

Di atas meja, potongan pizza terakhir itu sudah tak lagi utuh. Di sampingnya, seekor tikus abu-abu besar sedang asyik menggerogoti sisa pizza itu dengan rakus, giginya yang tajam mencabik-cabik potongan terakhir yang tersisa bagiku. Aku menatapnya dalam diam, seolah waktu membeku.

Tikus itu menatapku, sejenak matanya seolah berkilat---ada binar kecil yang tampak seperti senyum mengejek. Ia melanjutkan makannya, mengunyah dan menggigit, memusnahkan satu-satunya tanda perpisahan yang masih tersisa untukku. Potongan terakhir itu lenyap bersama gigitan-gigitan kecil yang seakan menertawakan nasibku.

Aku terpaku, perutku bergejolak bukan lagi karena lapar, melainkan amarah yang tumpul. Bahkan, untuk sepotong pizza terakhir pun, nasibku tak berhak mendapatkannya. Di sini, aku tak lebih dari seorang pekerja yang tak diinginkan, bahkan oleh makanan yang kuberikan untuk mereka.

Aku terduduk, memandangi meja kosong, mengabaikan tikus yang sudah pergi entah ke mana. Sepi merasuk di dada, lebih dalam daripada lapar. Semuanya berakhir tanpa sisa, tanpa rasa, tanpa kenangan.

Tiba-tiba, sebuah suara pelan memecah keheningan. "Siapa itu?" Aku menoleh dan melihat Budi, buruh tua yang sering kubagi rokok saat istirahat. Tanpa banyak kata, ia duduk di sampingku dan membuka bungkusan kecil dari tasnya. Di dalamnya, ada sebungkus nasi hangat berbalut daun pisang. Aromanya menguar, menembus udara dingin yang basah oleh bau besi dan minyak.

"Ambil ini. Kamu pasti lapar, kan?" katanya, matanya menatapku penuh pemahaman. Aku terdiam, tangan gemetar menerima bungkusan itu. Dalam senyum sederhana, Budi menatapku sambil tertawa kecil.

"Kau pikir cuma pizza yang bisa jadi tanda perpisahan?" katanya. "Kita bekerja sama, berbagi waktu, berbagi nasib. Traktiran bukan segalanya."

Kupandangi bungkusan nasi itu. Hangatnya mengalir ke dalam tubuhku, menggantikan kepedihan yang barusan mencabik-cabik di dada. Tidak ada pizza, tidak ada traktiran mewah. Tapi dalam kesederhanaan nasi bungkus ini, aku menemukan sesuatu yang lebih berarti---persahabatan tanpa tuntutan, pengertian tanpa kata. Aku mengerti bahwa sesungguhnya, kenangan terbaik tak pernah berasal dari makanan yang mahal, melainkan dari mereka yang diam-diam peduli.

Aku menyuap nasi itu perlahan. Di malam terakhirku di pabrik ini, aku menemukan menu perpisahan terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun