Mohon tunggu...
Indra Joko
Indra Joko Mohon Tunggu... Administrasi - OK

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pizza Terakhir

13 November 2024   16:30 Diperbarui: 13 November 2024   16:32 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://populis.id/

Tikus itu menatapku, sejenak matanya seolah berkilat---ada binar kecil yang tampak seperti senyum mengejek. Ia melanjutkan makannya, mengunyah dan menggigit, memusnahkan satu-satunya tanda perpisahan yang masih tersisa untukku. Potongan terakhir itu lenyap bersama gigitan-gigitan kecil yang seakan menertawakan nasibku.

Aku terpaku, perutku bergejolak bukan lagi karena lapar, melainkan amarah yang tumpul. Bahkan, untuk sepotong pizza terakhir pun, nasibku tak berhak mendapatkannya. Di sini, aku tak lebih dari seorang pekerja yang tak diinginkan, bahkan oleh makanan yang kuberikan untuk mereka.

Aku terduduk, memandangi meja kosong, mengabaikan tikus yang sudah pergi entah ke mana. Sepi merasuk di dada, lebih dalam daripada lapar. Semuanya berakhir tanpa sisa, tanpa rasa, tanpa kenangan.

Tiba-tiba, sebuah suara pelan memecah keheningan. "Siapa itu?" Aku menoleh dan melihat Budi, buruh tua yang sering kubagi rokok saat istirahat. Tanpa banyak kata, ia duduk di sampingku dan membuka bungkusan kecil dari tasnya. Di dalamnya, ada sebungkus nasi hangat berbalut daun pisang. Aromanya menguar, menembus udara dingin yang basah oleh bau besi dan minyak.

"Ambil ini. Kamu pasti lapar, kan?" katanya, matanya menatapku penuh pemahaman. Aku terdiam, tangan gemetar menerima bungkusan itu. Dalam senyum sederhana, Budi menatapku sambil tertawa kecil.

"Kau pikir cuma pizza yang bisa jadi tanda perpisahan?" katanya. "Kita bekerja sama, berbagi waktu, berbagi nasib. Traktiran bukan segalanya."

Kupandangi bungkusan nasi itu. Hangatnya mengalir ke dalam tubuhku, menggantikan kepedihan yang barusan mencabik-cabik di dada. Tidak ada pizza, tidak ada traktiran mewah. Tapi dalam kesederhanaan nasi bungkus ini, aku menemukan sesuatu yang lebih berarti---persahabatan tanpa tuntutan, pengertian tanpa kata. Aku mengerti bahwa sesungguhnya, kenangan terbaik tak pernah berasal dari makanan yang mahal, melainkan dari mereka yang diam-diam peduli.

Aku menyuap nasi itu perlahan. Di malam terakhirku di pabrik ini, aku menemukan menu perpisahan terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun