Namun, banyak pria yang tumbuh dalam pola asuh patriarki mewarisi pola ini dan menganggapnya sebagai hal yang "normal," bahkan wajar, untuk tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Mereka merasa bahwa keterlibatan mereka hanya terbatas pada tanggung jawab finansial, seperti yang dicontohkan oleh ayah-ayah mereka sendiri.
Bagi sebagian pria, karena mereka sendiri tidak banyak diurus oleh ayah mereka, maka mereka tidak melihat pentingnya peran mereka dalam hal pengasuhan emosional dan keseharian anak.
Pemikiran ini semakin memperkuat budaya patriarki yang tidak hanya membatasi peran ayah, tetapi juga menghambat perkembangan emosional anak dan keluarga secara keseluruhan.
Penyebab fenomena fatherless sangat bervariasi, mulai dari perceraian yang semakin umum, hingga situasi ekonomi yang memaksa ayah bekerja jauh dari keluarga.
Selain itu, faktor budaya patriarki juga turut berperan, di mana ayah cenderung diharapkan hanya memenuhi peran finansial tanpa perlu terlibat dalam pengasuhan sehari-hari.
Budaya ini membuat banyak ayah merasa bahwa tanggung jawab mereka cukup sebatas sebagai pencari nafkah, sementara pengasuhan dianggap sepenuhnya tanggung jawab ibu.
Alasan lainnya bisa berasal dari ketidakmampuan ayah dalam membangun hubungan emosional dengan anak-anaknya, baik karena minimnya contoh dari generasi sebelumnya maupun kurangnya pemahaman akan pentingnya peran emosional mereka.
Di Indonesia, fenomena fatherless berdampak besar terhadap kualitas generasi muda, termasuk dalam aspek kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kedisiplinan. Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah sering kali menghadapi krisis kepercayaan diri dan kesulitan dalam membentuk karakter yang kuat.
Sebagai contoh, beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa anak-anak fatherless cenderung memiliki kendala dalam kemampuan mengambil keputusan yang baik dan bertanggung jawab, karena mereka tidak memiliki sosok figur otoritatif yang mencontohkan nilai-nilai kepemimpinan dan ketegasan sejak kecil.
Hal ini berdampak pada kelemahan karakter mereka, yang kemudian memengaruhi kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan di lingkungan sekolah dan pekerjaan, bahkan dalam kehidupan sosial mereka.
Tidak hanya itu, kondisi fatherless juga dikaitkan dengan peningkatan perilaku negatif di kalangan anak muda, seperti kecenderungan untuk malas bekerja, terlibat dalam kebiasaan buruk seperti judi online, atau mencari pelarian lain yang kurang produktif.