Aku berdiri terpaku di depan lukisan itu, seakan dunia ini hanya ada dia---seorang perempuan yang tak pernah benar-benar ada, tapi hadir begitu nyata dalam setiap sapuan kuas. Lukisan itu seolah menarik setiap serat jiwaku, menelusup ke dalam lubuk terdalam hatiku. Wajahnya, dengan mata yang penuh cerita, seakan berbicara padaku dalam diam. Nama lukisan itu adalah "Mata yang Tak Pernah Tidur."
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Di tengah galeri yang hening ini, di bawah cahaya yang lembut, lukisan itu adalah satu-satunya yang berbicara. Karya seni lain terasa seperti bayangan, seperti hiasan yang tak berarti. Tetapi perempuan ini---perempuan dalam lukisan itu---aku merasa seolah aku mengenalnya, seolah dia memanggilku dari balik dunia lain. Hatiku berdebar, jantungku seperti berdegup lebih keras, menuntut perhatian.
Aku akhirnya mengumpulkan keberanian, mendekati pelukis yang berdiri di dekatnya, dan berkata dengan suara bergetar, "Bolehkah aku membeli lukisan ini?"
Pelukis itu, seorang pria berumur dengan rambut berantakan, menggelengkan kepala pelan, "Maaf, lukisan ini tidak untuk dijual. Tidak peduli berapa pun harga yang kau tawarkan."
Aku terkejut, dan perasaan kecewa merayap begitu dalam. "Tapi... ini adalah karya yang luar biasa. Aku benar-benar ingin memilikinya."
Pelukis itu hanya tersenyum tipis, senyuman yang seolah menyembunyikan sebuah rahasia kelam. "Lukisan ini bukan hanya gambar. Ini adalah cerita, dan cerita itu hanya milikku."
Aku tak bisa melepaskan pandangan dari wajah perempuan itu. Rasanya, ada sebuah dunia yang terlepas dari kanvas ini, sebuah dunia yang ingin aku temui. Aku menginginkannya---tidak hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai bagian dari hidupku. Aku ingin tahu siapa perempuan itu, mengapa dia terlihat begitu hidup.
"Siapa dia?" tanyaku, meskipun aku tahu aku tidak bisa mendengar jawabannya. "Aku... jatuh cinta padanya."
Pelukis itu menatapku tajam, matanya berkilat, marah. "Kau tidak tahu apa yang kau katakan," katanya dengan nada yang semakin keras. "Perempuan itu bukan milik siapa pun. Dia adalah bagian dari diriku. Jangan berkhayal."
Tapi amarahnya hanya menambah tekad dalam diriku. Aku ingin tahu siapa perempuan itu, siapa dia sebenarnya, dan mengapa dia bisa memiliki kekuatan yang begitu besar atas diriku.
"Baiklah," kataku dengan suara yang semakin tegas, "Jika aku tak bisa membeli lukisan itu, buatkan aku lukisan dengan model yang sama. Ekspresi yang sama, mata yang sama, semuanya harus sama."