Hari itu, langit di atas kampung begitu cerah. Angin bertiup kencang, sempurna untuk menerbangkan layangan. Beni dan dua sahabatnya, Doni dan Fajar, sudah berkumpul di lapangan kecil di ujung desa. Mereka membawa layangan masing-masing, siap berlomba siapa yang bisa menerbangkan layangan paling tinggi.
Di sela-sela kegembiraan itu, saat layangan mereka mulai terbang tinggi di langit biru, Doni tiba-tiba menurunkan suaranya dan melirik ke arah Beni dan Fajar dengan tatapan serius. Ia maju selangkah, membuat Beni dan Fajar penasaran.
"Kalian pernah dengar cerita soal mobil culik?" bisik Doni. Fajar mengernyitkan alis, sementara Beni mulai merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Mobil culik?" tanya Fajar, suaranya bergetar sedikit.
Doni mengangguk penuh misteri. "Iya. Mobil jeep hitam, kaca gelap, tanpa plat nomor. Mereka datang diam-diam, nggak ada yang tahu dari mana. Terus, mereka menculik anak-anak. Kamu tahu buat apa?"
Beni terdiam, tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang bercampur ketakutan. "Buat apa?" tanyanya.
Doni mendekat, suaranya hampir seperti bisikan. "Mereka ambil matanya buat dijadiin cendol."
Mendengar itu, Beni merinding sekujur tubuh. Ia menelan ludah, mencoba meyakinkan dirinya bahwa cerita Doni hanya sekadar isapan jempol. Tapi matanya melirik kanan-kiri, memastikan kalau tidak ada mobil hitam di sekitar mereka. Fajar terlihat sama tegangnya. Ketiganya terdiam sesaat, membayangkan sosok-sosok seram di balik kaca hitam mobil yang mengerikan itu.
"Aku pernah dengar cerita dari Kak Rina," tambah Fajar dengan suara pelan. "Katanya, di kampung sebelah, ada anak yang hilang begitu saja. Katanya sih, terakhir dilihat anak itu lagi main di lapangan sore-sore. Terus... hilang, dan nggak pernah pulang lagi."
Doni mengangguk seolah-olah makin yakin dengan ceritanya. "Nah, itu dia! Mungkin anak itu diculik mobil hitam itu!"