Apakah media tulis elektronik seperti Kompasiana bisa bertahan di tengah situasi sekarang ini? Banyak pembaca mungkin merasakan hal yang sama: ada kekhawatiran bahwa platform ini akan makin tertinggal jika tidak mampu menarik generasi baru.
Siang itu, dengan terik matahari yang begitu menyengat, saya memutuskan mencoba peruntungan mencari koran bekas di Shopping Center Yogyakarta. Sudah lama rasanya tidak mampir ke sana, pusat perbelanjaan buku-buku bekas di samping Malioboro yang masih punya nuansa khas dari masa lalu. Suasana di Shopping Center selalu membawa kenangan, seperti surga bagi pencinta buku dan kolektor benda-benda langka. Siapa tahu ada satu dua kios yang masih menyimpan tumpukan koran bekas.
Setelah masuk, saya menyapa beberapa pedagang dan mulai bertanya, "Mas, di sini ada yang jual koran bekas nggak, ya?" Sang pemilik kios, yang sedang sibuk mengatur buku-buku lamanya, mengangkat kepalanya sambil tersenyum kecil. "Wah, sekarang sudah jarang banget, Mas. Koran bekas di sini hampir nggak ada, paling cuma sisa beberapa lembar buat pembungkus."
Saya pun mencoba kios lain, berharap bisa menemukan koran-koran lawas yang terkumpul di pojok toko. Seorang bapak tua di kios berikutnya malah langsung menggeleng pelan, "Mas, anak-anak muda sekarang sudah pada pegang HP. Jadi yang jualan koran pun ikut susah. Orang sudah jarang yang butuh bacaan cetak kayak dulu." Mendengar jawabannya, saya cuma bisa tertawa kecil sambil berterima kasih.
Dari satu kios ke kios lain, hasilnya sama saja. Akhirnya, saya menyerah dan memutuskan duduk sebentar di tangga Shopping Center, sekadar mengistirahatkan kaki. Sambil meneguk air mineral, saya memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan ponsel di tangan. Dulu, mereka pasti membawa koran atau majalah sebagai teman duduk, tapi sekarang layar ponsel seolah menggantikan segalanya. Di tengah keramaian yang modern, sejenak saya merasa ada yang kosong---seperti kenangan sederhana yang diam-diam hilang di telan teknologi.
Setelah lelah berburu koran bekas di Shopping Center tanpa hasil, saya pulang dengan perasaan yang campur aduk. Di rumah, tiba-tiba saya teringat Kompasiana, tempat yang dulu sering saya kunjungi bukan sebagai penulis, tapi sebagai pembaca setia. Sesekali, saya memang pernah mencoba menulis, dan beruntung beberapa tulisan saya sempat masuk headline. Kompasiana dulu seperti ruang diskusi terbuka yang ramai dengan berbagai opini, kisah, dan cerita yang hangat dari para pengguna yang saling menyapa dan berdiskusi.
Saya pun mencoba login lagi, penasaran seperti apa suasananya sekarang. Begitu masuk, saya mendapati perubahan yang cukup terasa. Halaman depannya penuh dengan iklan event, promosi workshop, dan aktivitas lainnya. Tapi anehnya, meskipun lebih ramai di bagian acara, rasanya malah lebih sepi dari segi interaksi. Tulisan-tulisan terbaru hanya diselingi sedikit komentar, tak seperti dulu ketika pembaca dan penulis saling terlibat dalam diskusi panjang.
Dulu, saya merasa seperti berada di tengah komunitas hidup yang penuh obrolan, dan tiap tulisan selalu mengundang percakapan seru. Tapi kini, Kompasiana seperti ruang yang luas namun kosong---riuh dengan promosi, tapi sunyi dari percakapan pengguna. Ada rasa yang sama seperti ketika saya mencari koran bekas di Shopping Center: ada gemerlap dan kenangan yang masih tersisa, tapi atmosfer yang dulu saya kenal perlahan memudar di balik perkembangan teknologi dan gaya hidup yang terus berubah.
Saat login ke Kompasiana dan melihat perubahan yang ada, saya teringat satu hal yang semakin jelas dalam kehidupan sehari-hari: orang kini lebih menyukai media sosial berbasis video, bahkan sering kali lebih percaya pada informasi yang mereka lihat di TikTok, Instagram, atau YouTube daripada tulisan dari sumber yang kredibel. Sepertinya ini yang menjadi salah satu penyebab kenapa Kompasiana, seperti juga media tulis lainnya, terasa lebih sepi.
Video di media sosial menyajikan informasi secara cepat dan langsung, sering kali dikemas dengan gaya menarik yang mudah dicerna. Informasi rumit bisa disederhanakan dalam beberapa detik klip, dan pengguna cukup menggulir layar untuk mendapatkan serangkaian informasi instan. Mungkin karena itulah banyak orang sekarang merasa tak perlu lagi membaca tulisan panjang---meskipun dari sumber terpercaya, mereka lebih memilih konten visual yang instan.
Saat saya kembali menjelajahi Kompasiana, terasa ada semacam jurang yang membatasi. Meski masih ada tulisan-tulisan mendalam, diskusi kritis, dan opini yang bermanfaat, semuanya tenggelam dalam tren baru yang lebih cepat dan singkat. Sama seperti saya yang tidak lagi menemukan koran bekas di lapak-lapak, platform-platform tulis seperti ini pun mulai terpinggirkan, kalah bersaing dengan media sosial yang kini menjadi tempat utama orang mencari informasi. Dan di saat itulah saya benar-benar sadar, perubahan besar dalam cara kita menyerap informasi tidak hanya menggeser media cetak, tapi juga menantang masa depan media tulis digital seperti Kompasiana.
Melihat Kompasiana yang sekarang, saya merasa seperti menyaksikan babak baru dari "bulan madu singkat" media tulis elektronik. Dulu, kehadiran platform seperti Kompasiana, bahkan forum-forum besar seperti Kaskus, sempat menjadi kebanggaan di ranah digital. Masa-masa itu adalah saat ketika media tulis digital terasa baru dan segar, menawarkan tempat yang lebih bebas bagi opini, diskusi panjang, dan berbagai pemikiran yang sering kali tidak bisa ditemukan di media arus utama.
Namun, "bulan madu" itu ternyata hanya sementara, seperti menikmati madu tanpa benar-benar sempat merasakan manisnya. Sebelum media tulis digital bisa benar-benar mengukuhkan posisinya, muncul media sosial berbasis video yang langsung menarik perhatian banyak orang. Dengan konten yang cepat, padat, dan visual yang menarik, platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram Reels membuat orang lebih memilih menonton daripada membaca. Akhirnya, media tulis digital seperti Kompasiana, yang dulu pernah bersinar, pelan-pelan terasa tenggelam---seperti Kaskus yang sempat merajai forum, tetapi sekarang nyaris terlupakan.
Alih-alih berlama-lama membaca, kini orang lebih suka menghabiskan waktu dengan video pendek, yang dirasa lebih mudah dipahami dan lebih "menyentuh" dibanding tulisan panjang. Sumber-sumber kredibel dalam bentuk artikel atau esai kini tersisih, dianggap kurang menarik dibandingkan video viral yang lebih singkat namun langsung "mengena." Di tengah serbuan konten visual ini, Kompasiana dan media tulis lainnya pun terasa seperti suara di tengah keramaian yang semakin sulit terdengar.
Melihat perubahan ini, saya semakin sadar bahwa media tulis elektronik seperti Kompasiana kini bertahan terutama berkat komunitasnya---sekelompok pembaca dan penulis setia yang sering kali terdiri dari generasi yang sudah lebih dulu terbiasa dengan tulisan sebagai medium utama. Para Kompasianer ini sudah seperti sebuah keluarga lama, yang tetap berbagi cerita, opini, dan pengalaman meskipun lingkungan digital di sekitar mereka terus berubah. Namun, di tengah dinamika tersebut, tantangan besar muncul: semakin sulit bagi media tulis elektronik untuk menarik generasi muda yang lebih memilih konten video singkat dan visual.
Generasi muda cenderung lebih aktif di platform video seperti TikTok dan YouTube, di mana informasi tersaji dalam bentuk yang cepat dan menarik, lebih sesuai dengan gaya hidup yang serba instan. Bagi mereka, video-video singkat terasa lebih langsung, menyenangkan, dan mudah dipahami---sesuatu yang sering kali dianggap lebih menarik daripada membaca artikel panjang. Sementara itu, media tulis seperti Kompasiana berjuang menarik perhatian mereka, berupaya menghadirkan artikel-artikel yang relevan dan bermanfaat, meski tetap bersandar pada komunitas yang, perlahan-lahan, juga semakin menua.
Pertanyaannya, apakah media tulis elektronik seperti Kompasiana bisa bertahan di tengah situasi ini? Banyak Kompasianer lama mungkin merasakan hal yang sama: ada kekhawatiran bahwa platform ini akan makin tertinggal jika tidak mampu menarik generasi baru. Tantangan terbesar adalah menciptakan cara agar komunitas ini tetap hidup dan berkembang, mengadaptasi format atau konten yang mampu menjembatani minat generasi muda tanpa kehilangan nilai tulisannya yang khas.
Seperti Kaskus yang dulu sempat jadi kebanggaan komunitas digital Indonesia sebelum akhirnya tenggelam, nasib media tulis elektronik pun kini berada di ujung batas. Jika komunitas setia dan loyalitas Kompasianer bisa terus bertahan, mungkin masih ada harapan untuk mempertahankan ruang ini sebagai tempat berbagi ide dan cerita. Namun, tanpa langkah inovatif, tak bisa dipungkiri bahwa Kompasiana, seperti media tulis digital lainnya, akan makin tersisih di tengah dominasi konten video.
Nasib Kompasiana pun berada di persimpangan: apakah tetap bertahan sebagai ruang komunitas bagi para penulis lepas yang idealis, atau beradaptasi dengan tren baru demi menarik perhatian pembaca yang kini lebih gemar konten video? Sejauh ini, Kompasiana masih menjadi tempat di mana orang-orang bisa berbagi opini, pengalaman, dan pemikiran mendalam. Ini adalah ruang yang memfasilitasi kebebasan menulis, tempat di mana setiap orang, dari amatir hingga profesional, dapat menyampaikan suaranya tanpa harus mengikuti pakem media arus utama. Namun, dengan tren yang bergeser ke media video, Kompasiana pun mulai membuka diri dengan mengakomodasi kiriman berita dalam format video untuk menarik pembaca yang lebih muda dan visual-oriented.
Di sisi lain, langkah ini tidak datang tanpa tantangan. Saat media sosial video memikat para penonton muda dengan alur cepat dan konten yang menghibur, Kompasiana menghadapi kenyataan bahwa tetap relevan berarti harus mampu beradaptasi dengan format baru---meskipun berarti mengorbankan sebagian dari karakternya sebagai platform tulisan murni. Tentu saja, kehadiran konten video ini mungkin membuka peluang baru, tetapi bagi banyak Kompasianer setia, ada kekhawatiran bahwa perubahan ini bisa memudarkan esensi komunitas yang awalnya lebih literer dan penuh diskusi.
Selain itu, langkah Kompasiana untuk memperkenalkan model iklan dan membership sebagai sumber pendapatan juga menuai pro dan kontra. Iklan yang semakin sering muncul bisa mengganggu pengalaman membaca, sementara opsi membership dapat membuat pembaca merasa ada sekat antara konten gratis dan premium. Bagi pembaca setia dan penulis lama, gangguan ini terasa seperti batas baru yang merenggangkan interaksi alami yang dulu terasa erat dan organik.
Pertanyaannya, apakah Kompasiana dapat bertahan di tengah tekanan komersialisasi dan ekspektasi akan format konten baru? Mungkin jawabannya ada pada komunitasnya. Jika Kompasiana berhasil mempertahankan ruang untuk para penulis lepas yang ingin menulis tanpa batasan, sembari mengakomodasi bentuk konten baru dengan bijak, platform ini mungkin bisa tetap relevan. Di tengah dunia yang terus berubah, Kompasiana bisa bertahan sebagai oasis bagi mereka yang masih mencari informasi dalam bentuk tulisan---dan bagi mereka yang percaya bahwa idealisme menulis masih layak dipertahankan di era digital ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H