Mohon tunggu...
Indra Joko
Indra Joko Mohon Tunggu... Administrasi - OK

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Daya Tarik Pemimpin Berusia Lanjut di Kalangan Gen Z: Tren Pilpres di AS dan Indonesia

8 November 2024   10:42 Diperbarui: 8 November 2024   11:04 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.klikindonesia.co.id/ (dari IG Prabowo dan IG Donald Trump)

Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat fenomena menarik dalam politik global: semakin banyak pemimpin berusia lanjut yang berhasil menarik dukungan generasi muda, khususnya Gen Z, dalam berbagai pemilihan presiden di berbagai negara. Di tengah perubahan sosial yang dinamis dan preferensi generasi baru yang cenderung pro-inovasi, tren ini tampak kontradiktif, namun memiliki akar yang lebih dalam. Para pemimpin senior, dengan pengalaman dan pengetahuan mendalam yang mereka miliki, menawarkan stabilitas dan ketegasan yang diinginkan oleh sebagian besar pemilih muda di tengah ketidakpastian dunia saat ini. Dari pemilihan presiden di Amerika Serikat hingga Indonesia, Malaysia, dan Rusia, pemimpin berusia lanjut tidak hanya berhasil mempertahankan basis dukungan tradisional mereka, tetapi juga menciptakan daya tarik baru di kalangan generasi yang biasanya menuntut perubahan dan pembaruan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apa yang membuat generasi muda bersedia memilih pemimpin dari generasi yang berbeda jauh dari mereka?

Dalam pemilu Amerika Serikat, profil usia calon presiden sering kali menjadi sorotan, terutama ketika kandidat berasal dari generasi yang lebih tua. Di pemilu terakhir, Amerika menyaksikan calon-calon presiden yang telah berusia lanjut tetap mampu menggaet dukungan dari Gen Z---generasi yang umumnya lebih memilih pemimpin progresif dan inovatif. Salah satu faktor yang mendukung daya tarik ini adalah pengalaman luas yang dimiliki para pemimpin senior, yang dianggap mampu memberikan stabilitas di tengah berbagai isu global yang kompleks. Selain itu, visi yang ditawarkan, yang sering kali menyentuh nilai-nilai seperti kemakmuran ekonomi, keamanan nasional, dan reformasi sosial, membantu calon-calon senior untuk relevan di mata pemilih muda. Tak kalah penting, kemahiran mereka atau tim kampanye mereka dalam berkomunikasi melalui media sosial memainkan peran kunci. Melalui kampanye digital yang cerdas di platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, calon berusia lanjut berhasil membangun citra yang lebih dekat dengan kehidupan Gen Z. Strategi ini, dikombinasikan dengan pesan-pesan yang kuat dan konsisten, memungkinkan para kandidat senior untuk tetap kompetitif di antara pemilih muda yang biasanya cenderung skeptis terhadap pemimpin berusia lanjut.

Hubungan Donald Trump dengan pemilih Generasi Z cukup kompleks dan menarik. Meskipun Trump berasal dari generasi yang jauh lebih tua, ia berhasil menarik perhatian sebagian dari Gen Z melalui pendekatannya yang tidak konvensional dan keterampilannya dalam berkomunikasi secara langsung di media sosial. Trump memanfaatkan platform-platform seperti Twitter (sebelum larangan akunnya) dan baru-baru ini Truth Social untuk berkomunikasi dengan para pendukungnya, menyampaikan pesan-pesan yang sering kali kontroversial namun menarik perhatian. Gen Z, yang tumbuh di era digital dan akrab dengan gaya komunikasi langsung, tanggap terhadap pendekatan yang berbasis pada "anti-establishment," yang menjadi ciri khas kampanye Trump.

Banyak dari pemilih muda yang tertarik pada Trump juga merasa bahwa dia menawarkan alternatif yang berbeda dari politik tradisional dan bahwa kebijakan-kebijakannya dalam bidang ekonomi dan nasionalisme selaras dengan keinginan mereka akan perubahan dan stabilitas. Namun, hubungan ini tetap terbagi: sementara ada sebagian dari Gen Z yang menghargai keterusterangannya dan pendekatan pro-bisnisnya, ada juga yang menolak sikapnya terhadap isu-isu sosial, iklim, dan kebijakan yang kontroversial. Meski demikian, Trump tetap berhasil mempertahankan sejumlah dukungan dari kalangan muda dengan gaya komunikasinya yang berani, strateginya dalam memanfaatkan algoritma media sosial, dan kemampuannya menyampaikan pesan yang sejalan dengan kekhawatiran sebagian pemilih Gen Z mengenai masa depan ekonomi dan keamanan Amerika Serikat.

Di Indonesia, tokoh-tokoh berusia lanjut yang mencalonkan diri dalam pilpres terus menunjukkan pengaruh signifikan, bahkan di kalangan pemilih muda seperti Gen Z. Meskipun biasanya dianggap sebagai generasi yang berpikiran progresif dan terbuka terhadap perubahan, sebagian Gen Z menunjukkan ketertarikan pada calon yang lebih senior. Salah satu alasan utamanya adalah kepercayaan terhadap stabilitas yang ditawarkan oleh pemimpin dengan pengalaman panjang dalam pemerintahan atau bidang militer. Dalam situasi politik dan ekonomi yang penuh ketidakpastian, pemilih muda melihat pengalaman para tokoh senior sebagai sumber ketenangan dan kemampuan untuk menjaga kestabilan negara.

Prabowo Subianto menarik perhatian pemilih Gen Z di Indonesia, meskipun banyak dari generasi ini tidak mengalami langsung peristiwa-peristiwa yang mewarnai masa lalunya. Sebagai generasi yang tumbuh setelah era Orde Baru, Gen Z lebih fokus pada citra Prabowo saat ini daripada konflik masa lalunya. Dalam konteks Pilpres 2024, daya tarik Prabowo bagi pemilih muda didorong oleh narasi barunya sebagai tokoh yang berkomitmen pada stabilitas, pertumbuhan ekonomi, dan kedaulatan nasional.

Generasi Z di Indonesia menunjukkan kecenderungan untuk mengabaikan luka-luka masa lalu, terutama yang tidak mereka alami secara langsung. Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era pascareformasi, mereka lebih akrab dengan dinamika sosial-politik yang terbuka dan serba cepat dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa kelam masa lalu yang dialami oleh generasi sebelumnya. Bagi Gen Z, fokus lebih banyak tertuju pada isu-isu yang langsung memengaruhi masa depan mereka, seperti lapangan pekerjaan, teknologi, lingkungan, dan stabilitas ekonomi, ketimbang persoalan-persoalan sejarah yang mereka rasa sudah selesai atau tidak relevan lagi.

Sikap abai ini juga didorong oleh akses informasi yang berbeda, di mana media sosial dan platform digital menjadi sumber utama yang membentuk persepsi mereka. Sementara sebagian besar generasi ini tahu akan adanya luka masa lalu, mereka tidak merasakan dampaknya secara emosional atau langsung, sehingga kurang memandangnya sebagai faktor penting dalam keputusan politik atau pandangan mereka terhadap calon pemimpin. Bagi banyak Gen Z, penekanan pada masa lalu sering kali dianggap menghambat progresivitas dan pembaruan. Di tengah tantangan masa kini, mereka cenderung mencari sosok pemimpin yang dianggap mampu membawa perubahan positif dan menawarkan masa depan yang lebih stabil, terlepas dari latar belakang sejarahnya.

Fenomena pemimpin berusia lanjut di negara-negara seperti Rusia, China, Malaysia, Turki, Kamerun, dan Brunei menunjukkan respons yang beragam dari generasi muda, terutama Gen Z. Di banyak negara ini, pemilih muda sering kali terjebak antara keterpaksaan dan keterbatasan pilihan dalam mendukung pemimpin senior. Di Rusia, misalnya, meskipun generasi muda semakin kritis terhadap pemerintahan Vladimir Putin, ia tetap mendapat dukungan signifikan karena kontrol ketat terhadap oposisi dan media, serta kurangnya alternatif yang kredibel. Hal yang sama juga terlihat di China, di mana Xi Jinping yang berusia lanjut mempertahankan dominasi politiknya. Meskipun banyak dari Gen Z mungkin tidak sepenuhnya setuju dengan kebijakan dan ideologi otoriter, mereka sering merasa terjepit oleh sistem yang tidak memberikan ruang bagi calon muda yang bisa menyaingi pengaruh dua pemimpin tersebut.

Di Malaysia, generasi muda juga cenderung terjebak antara ketertarikan pada pemimpin senior seperti Anwar Ibrahim dan keterbatasan alternatif yang dapat menawarkan perubahan drastis. Meskipun Anwar mengusung perubahan dan reformasi, usianya yang sudah tidak muda lagi menjadikannya kurang relevan di mata sebagian pemilih muda yang mendambakan pembaruan lebih cepat. Di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdoan, yang telah memimpin negara itu dalam waktu yang lama, tetap memperoleh dukungan dari sebagian besar pemilih muda, terutama dengan retorika nasionalis dan kebijakan ekonomi yang lebih fokus pada pembangunan. Namun, ada juga sebagian dari Gen Z yang merasa teralienasi oleh pola kepemimpinan yang semakin otoriter.

Di Kamerun dan Brunei, pemimpin-pemimpin berusia lanjut seperti Paul Biya (Kamerun) dan Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei) menghadapi sikap apatis atau ketidakpedulian dari sebagian besar generasi muda, yang merasa tidak memiliki banyak pilihan dalam memilih calon yang lebih muda atau lebih progresif. Di negara-negara ini, Gen Z cenderung lebih fokus pada isu-isu pribadi seperti pekerjaan dan pendidikan, daripada terlibat dalam politik, terutama jika mereka merasa bahwa sistem politik yang ada tidak memberikan ruang untuk perubahan yang berarti. Fenomena ini mencerminkan situasi di mana generasi muda sering kali merasa terperangkap dalam sistem yang didominasi oleh pemimpin berusia lanjut, yang meskipun tidak sepenuhnya memenuhi harapan mereka, tetap dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang dapat menjamin stabilitas dan kontinuitas. Ketertarikan Gen Z terhadap pemimpin-pemimpin ini, meskipun sering kali tidak penuh antusiasme, lebih merupakan hasil dari keterbatasan pilihan atau ketidakpedulian terhadap politik daripada pilihan yang didasari oleh keyakinan ideologis.

Fenomena keterpilihan pemimpin berusia lanjut di berbagai negara, seperti yang terlihat pada Vladimir Putin di Rusia, Xi Jinping di China, Anwar Ibrahim di Malaysia, Recep Tayyip Erdoan di Turki, dan Paul Biya di Kamerun, sering kali berhubungan dengan harapan dan ketakutan yang berbeda dari generasi muda. Di satu sisi, ada harapan dari pemilih bahwa pemimpin yang lebih senior bisa menjaga stabilitas dan kontinuitas dalam pemerintahan, serta menghindari perubahan yang terlalu cepat atau ekstrem yang dapat menyebabkan ketidakpastian. Namun, di sisi lain, muncul ketakutan bahwa pemimpin muda, meskipun tampak lebih energik dan progresif, berpotensi untuk membangun kekuasaan yang lebih lama, bahkan bisa berakhir dalam bentuk tirani. Fenomena ini mencerminkan dilema antara harapan untuk adanya pergantian kepemimpinan secara sehat dan ketakutan terhadap konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Pemimpin yang lebih tua sering kali dianggap lebih bijaksana dan berpengalaman dalam menghadapi tantangan politik dan ekonomi global, yang membuat mereka dipandang sebagai pilihan yang lebih aman oleh banyak generasi muda. Namun, bagi sebagian Gen Z, ketakutan terhadap pemimpin muda yang tidak berpengalaman juga muncul, karena mereka dapat cenderung berusaha memperpanjang masa jabatan mereka dengan cara-cara yang lebih otoriter, seperti yang terlihat pada beberapa pemimpin muda di negara-negara dengan tradisi politik yang lebih otoriter.

Ketakutan ini muncul terutama ketika pemimpin muda menggunakan popularitas mereka untuk memperkuat kekuasaan dan membatasi oposisi, memanipulasi sistem politik untuk memperpanjang kekuasaan mereka lebih lama daripada yang diinginkan masyarakat. Dalam beberapa kasus, kekuasaan yang didapatkan oleh pemimpin muda berpotensi mengarah pada bentuk pemerintahan yang lebih otoriter, dengan mengorbankan kebebasan politik dan hak-hak individu. Hal ini menciptakan ketegangan antara harapan akan pemimpin yang lebih muda dan dinamis, dengan kekhawatiran bahwa mereka justru akan terjebak dalam perangkap tirani. Karena itu, pemilih muda yang mendukung pemimpin berusia lanjut sering kali melakukannya dengan keyakinan bahwa meskipun pemimpin tersebut tidak lagi muda, mereka mampu menjaga kestabilan politik dan mencegah kemungkinan munculnya pemerintahan yang otoriter dari generasi muda yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka lebih lama. Fenomena ini menunjukkan kompleksitas politik di mana generasi muda harus memilih antara mempertahankan status quo yang stabil dengan pemimpin senior atau mengorbankan keamanan politik untuk mengejar perubahan yang lebih cepat dengan risiko ketidakpastian dan tirani.

Pada akhirnya, fenomena pemimpin berusia lanjut yang tetap mendapatkan dukungan dari generasi muda ini menunjukkan bahwa, meskipun kita sering berharap dunia akan dipimpin oleh generasi muda yang lebih segar dan penuh ide, kadang-kadang stabilitas dan pengalaman tampaknya lebih menjanjikan daripada semangat muda yang berapi-api. Memang, memilih pemimpin bukan hanya soal berapa banyak masa depan yang ingin kita lihat, tetapi juga tentang berapa banyak masa lalu yang siap kita bawa untuk memastikan masa depan itu aman. Jadi, meskipun Gen Z mungkin lebih memilih pemimpin yang lebih muda, terkadang mereka harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa, dalam dunia politik, tak semua pilihan datang dengan energi muda, dan kadang, yang tua pun tetap lebih bijak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun