Fenomena keterpilihan pemimpin berusia lanjut di berbagai negara, seperti yang terlihat pada Vladimir Putin di Rusia, Xi Jinping di China, Anwar Ibrahim di Malaysia, Recep Tayyip Erdoan di Turki, dan Paul Biya di Kamerun, sering kali berhubungan dengan harapan dan ketakutan yang berbeda dari generasi muda. Di satu sisi, ada harapan dari pemilih bahwa pemimpin yang lebih senior bisa menjaga stabilitas dan kontinuitas dalam pemerintahan, serta menghindari perubahan yang terlalu cepat atau ekstrem yang dapat menyebabkan ketidakpastian. Namun, di sisi lain, muncul ketakutan bahwa pemimpin muda, meskipun tampak lebih energik dan progresif, berpotensi untuk membangun kekuasaan yang lebih lama, bahkan bisa berakhir dalam bentuk tirani. Fenomena ini mencerminkan dilema antara harapan untuk adanya pergantian kepemimpinan secara sehat dan ketakutan terhadap konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Pemimpin yang lebih tua sering kali dianggap lebih bijaksana dan berpengalaman dalam menghadapi tantangan politik dan ekonomi global, yang membuat mereka dipandang sebagai pilihan yang lebih aman oleh banyak generasi muda. Namun, bagi sebagian Gen Z, ketakutan terhadap pemimpin muda yang tidak berpengalaman juga muncul, karena mereka dapat cenderung berusaha memperpanjang masa jabatan mereka dengan cara-cara yang lebih otoriter, seperti yang terlihat pada beberapa pemimpin muda di negara-negara dengan tradisi politik yang lebih otoriter.
Ketakutan ini muncul terutama ketika pemimpin muda menggunakan popularitas mereka untuk memperkuat kekuasaan dan membatasi oposisi, memanipulasi sistem politik untuk memperpanjang kekuasaan mereka lebih lama daripada yang diinginkan masyarakat. Dalam beberapa kasus, kekuasaan yang didapatkan oleh pemimpin muda berpotensi mengarah pada bentuk pemerintahan yang lebih otoriter, dengan mengorbankan kebebasan politik dan hak-hak individu. Hal ini menciptakan ketegangan antara harapan akan pemimpin yang lebih muda dan dinamis, dengan kekhawatiran bahwa mereka justru akan terjebak dalam perangkap tirani. Karena itu, pemilih muda yang mendukung pemimpin berusia lanjut sering kali melakukannya dengan keyakinan bahwa meskipun pemimpin tersebut tidak lagi muda, mereka mampu menjaga kestabilan politik dan mencegah kemungkinan munculnya pemerintahan yang otoriter dari generasi muda yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka lebih lama. Fenomena ini menunjukkan kompleksitas politik di mana generasi muda harus memilih antara mempertahankan status quo yang stabil dengan pemimpin senior atau mengorbankan keamanan politik untuk mengejar perubahan yang lebih cepat dengan risiko ketidakpastian dan tirani.
Pada akhirnya, fenomena pemimpin berusia lanjut yang tetap mendapatkan dukungan dari generasi muda ini menunjukkan bahwa, meskipun kita sering berharap dunia akan dipimpin oleh generasi muda yang lebih segar dan penuh ide, kadang-kadang stabilitas dan pengalaman tampaknya lebih menjanjikan daripada semangat muda yang berapi-api. Memang, memilih pemimpin bukan hanya soal berapa banyak masa depan yang ingin kita lihat, tetapi juga tentang berapa banyak masa lalu yang siap kita bawa untuk memastikan masa depan itu aman. Jadi, meskipun Gen Z mungkin lebih memilih pemimpin yang lebih muda, terkadang mereka harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa, dalam dunia politik, tak semua pilihan datang dengan energi muda, dan kadang, yang tua pun tetap lebih bijak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H