Mohon tunggu...
Indra Furwita
Indra Furwita Mohon Tunggu... Aircraft Engineer -

Aviation & Travel Enthusiast, juga berkarya di IG @FlightEnjoyneer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Habibie, di Balik Terbangnya Gatotkoco

17 Mei 2011   23:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:31 1772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Terlentang! Jatuh! Perih! Kesal!

Ibu Pertiwi

Engkau pegangan

Dalam perjalanan

Janji Pusaka dan Sakti

Tanah Tumpa darahku makmur dan suci

.......

Hancur badan!

Tetap berjalan!

Jiwa Besar dan Suci

Membawa aku PADAMU!

(Habibie & Ainun, Hal: 41)

Demikian sumpah seorang anak negeri yang berhasil membuat besar dan memimpin negaranya Indonesia, yakni Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie. BJ Habibie, demikian beliau akrab disapa, dilahirkan di Pare-Pare (Sulawesi Selatan), pada 25 Juni 1936. Dalam riwayat pendidikannya, selama enam bulan, beliau kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung(ITB), dan dilanjutkan keRhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule– Jerman pada 1955,mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas yang sama dengan sewaktu di ITB.

Secara pribadi saya mengenali beliau sebagai panutan bagi kami yang sedang menekuni bidang aeronautika, khusunya akademikus yang perlu banyak belajar dari beliau. Pengetahuan dan kemahirannya di bidang aeronautika terutama bidang konstruksi telah diakui oleh dunia, terbukti dengan beberapa gelar Doktor Honoris Causa seperti yang diperolehnya dari Cranfield Institute of Technology. Bahkan beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“. Namun di balik semua keahliannya yang tampak itu, ada satu yang tak kasat mata, dan itu berhubungan dengan sumpahnya pada Republik ini.

Setelah menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962, keduanya hijrah dan tinggal di kota Aachen, Jerman. Saat itu Habibie tengah dalam proses penyelesaian S3-nya di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule (RWTH), sekaligus tempatnya bekerja dan menafkahi keluarga barunya. Bekerja sebagai asisten juga aktif dalam penyelesaian beberapa proyek yang berhubungan langsung dengan konstruksi ringan. Beberapa proyek yang pernah diselesaikannya, seperti Pengadaan Gerbong Kereta berteknologi tinggi dan proyek Pengembangan Kapal Selam laut dalam dari Departemen Pertahanan Jerman. Semuanya berhasil dan terakhir beliau berhasil menyempurnakan metode perhitungan tegangan akibat pemanasan kinetik pada saya pesawat sekaligus mengantarkannya menyelesaikan pendidikan S3-nya.

Setelah karya S3-nya diakui, Habibie diberi kesempatan untuk menjadi Guru Besar di RWTH.  Sebuah tantangan yang menarik untuk diterima, mengingat beliau saat itu masih pada usia 30 tahun, usia yang sangat muda untuk seorang Professor. Namun, tawaran yang menggiurkan itu lantas tak membuat Habibie dan Ainun lupa pada negerinya. Habibie tetap memilih untuk meneruskan tekadnya menimba ilmu dan pengalaman dalam bidang kedirgantaraan untuk selanjutnya Ia terapkan di Indonesia.

Lulus dengan nilai sangat baik membuat kepercayaan perusahaan besar kepadanya begitu besar untuk merekrutnya menjadi karyawan. Adalah Boeing sebuah perusahaan Pesawat Terbang basis Amerika, menginginkan jasa Habibie dengan tawaran fasilitas yang lengkap. Diterimakah? Tidak. Ia lebih memilih untuk melamar pekerjaan di sebuah perusahaan kecil, Hamburger Flugzeug Bau (HFB), Jerman. Perusahaan itu juga bergerak dalam Industri Penerbangan Militer dan Komersial.

Apa yang membuat Habibie tak cukup takluk dengan tawaran yang menggiurkan itu? Beliau bersama Ibu Ainun tak ingin mengingkari sumpahnya pada Negeri ini, Indonesia. Beliau sadar bahwa kehadirannya di tanah Jerman adalah sekedar menerina pendidikan dan pengalaman yang diperlukan untuk menutupi kekurangan sumber daya manusia yang siap membangun bumi pertiwi.

Perjalanan hidup dan karier Habibie di amburger Flugzeug Bau (HFB) terus saja menuai sukses dengan segala kebutuhan yang terpenuhi dan terjamin. Sampai akhirnya Ia menduduki posisi penting dan memimpin beberapa proyek strategis yang terkait erat dalam konstruksi pesawat terbang. Genap setahun bekerja di HFB, Ia bertemu dengan Panglima Angkatan Udara, Marsekal Roesmin Nuryadin yang kebetulan menghandiri undangan pihak HFB.

Kedatangan Panglima Angkatan Udara (Pangau) adalah untuk melihat dan mendiskusikan potensi kedirgantaraan di Indonesia. Untuk itu Marsekal Roesmin Nuryadin meminta agar dalam waktu singkat Habibie berkenan berkunjung ke Indonesia meninjau aset nasinal untuk selanjutnya dipersiapkan menjadi cikal bakal industri penerbangan nasional. Hal itu diperkuat dengan ditandatanganinya keputusan Dirjen, oleh Bapak Mashuri Saleh S.H. yang menyatakan memberikan ijin kepada Habibie untuk bekerja di HFB, dengan syarat ketika diperlukan oleh negara harus segera pulang dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Tepat pada tanggal 10 Februari 1968, Habibie beserta Ainun dan juga kedua orang anaknya tiba di Jakarta. Dalam kunjungannya ke Indonesia, beliau berhasil memanfaatkannya dengan mengajak beberapa pakar dirgantara Indonesia untuk turut serta meniti pengalaman di HFB bersamanya. Pada tahun 1969-1970 para Insinyur Indonesia yang berhasil terpilih  itu datang ke Jerman atas rekomendasi Habibie. Mereka inilah yang dipersiapkan untuk membangun Industri Kedirgantaraan Indonesia.

Tantangan jiwa nasionalisme seorang Habibie kembali diuji ketika Dr. Ibnu Sutowo, Dirut Pertamina. Habibie diperintahkan untuk menghadap kepada beliau, Dr. Ibnu Sutowo. Seorang tokoh nasional yang belum pernah dikenalnya.  Dalam pertemuan itu, senyuman Habibie disambut dengan beberapa kalimat oleh Ibnu Sutowo. "Mengapa saudara masih berada di rantau sementara saudara-saudaramu membanting tulang untuk membangun bangsanya. Saudara ikut membangun bangsa lain. Saudara harus malu dan segera ikut bergabung dengan saudara-saudaramu menempas masa depan yang lebih baik bagi Indonesia yang kita cintai" demikian untaian kata-kata yang menohok jiwa seorang Habibie dan membuatnya merasa malu pada negerinya.

Tidak berapa lama waktu setelah pertemuannya dengan Dr. Ibnu Sutowo, Habibie meninggalkan tugasnya di HFB dan terbang ke Jakarta. Tepat pada  26 Januari 1974 Ia tiba di Indonesia. Tak lama berselang Ia bertemu dengan Presiden Soeharto membahas tentang renacan strategis bangsa Indonesia untuk segera mengikuti kemajuan era abad ke-20 berdampingan dengan bangsa maju. Benang merah percakapan mereka sampai pada tekad bangsa ini untuk segera lepas landas bersaing dalam perhelatan teknologi kedirgantaraan. Adalah Habibie sebagai pilar utama yang mendapat tugas itu, sesuai dengan tekadnya untuk memenuhi sumpahnya pada Ibu Pertiwi.

"Kapan saya dapat melihat dan menyaksikan terbang perdana pesawat terbang rekayasa putra-putri Indonesia?" tanya Presiden Soeharto.

Spontan optimis Habibie menjawab "Insya Allah sepuluh tahun lagi tanggal 28 Januari 1984 di ruang yang sama ini, akan saya sampaikan undangan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk menyaksikan terbang perdana pesawat terbang rekayasa Bangsa Indonesia."

Setibanya kembali di Jerman, Habibie memutuskan untuk memohon ijin pada pimpinan HFB untuk mewujudkan niat suci nan mulia itu. Tidak berapa kemudia, Habibie dihadapkan pada tantangan untuk mengajak kembali rekan-rekan Insinyur Indonesia yang sudah bekerja dan memiliki pengalaman di bidang kedirgantaraan di perusahaan Jerman untuk berkenan kembali ke Indonesia. Satu hal yang memberatkan mereka yang dikumpulkan oleh Habibie saat itu di Konsulat Jenderal Indonesia, Hamburg adalah gaya hidup yang jauh lebih mapan, nyaman dan berkecukupan. Sebagian dari mereka enggan untuk kembali mengabdi pada negeri, karena takut tak mendapat jaminan yang setimpal dibanding mereka tetap di Jerman.

Dibawah naungan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio, kemudia berganti Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang sekarang berganti nama menjadi PTDI (PT. Dirgantara Indonesia), Habibie mempersiapkan segalanya termasuk sumberdaya manusia dan sumber daya pendukung lainnya. Bulat tekadnya untuk membuka mata bangsa Indonesia dengan terbangnya produk dari tangan putra-putri nusantara.

Barulah menjelang ulang tahun RI ke-50,pada tanggal 10 Agustus 1995, Habibie mampu menepati sumpahnya pada Ibu Pertiwi.Pada hari itu beliau mampu membuktikan bahwa putra-putri Indonesia mampu menghadirkan produk dirgantara dengan teknologi canggih. Sebuah pesawat N-250 Gatotkoco, yang bermakna buatan putra-putri Nusantara (N) yang mampu mengangkut penumpang sekitar 50 orang.

Pesawat N-250 Gatotkoco merupakan pesawat handal yang dibekali dengan teknologifly by wire,dimana seluruh gerakannya dikendalikan dengan sistem komputerisasi. Tercatat sebagai pesawat ketiga setelah Airbus dan Boeing yang lebih dulu menerapkannya. Saya kira sebuah sepak terjang yang luar biasa untuk sebuah kelahiran teknologi baru.Pada hari itu, 10 Agustus 1995, Habibie mampu meruntuhkan keraguan pihak yang pesimistis untuk terbang perdana N-250 Gatotkoco ini.Akhirnya, setelah untuk yang pertamakalinya roda (landing gear) pesawat N-250 Gatotkoco meninggalkan landasan Bandara Husein Sastranegara, saat itu pula Habibie mampu meruntuhkan keraguan pihak yang pesimistis untuk terbang perdana N-250 Gatotkoco ini. Tangis presiden Soeharto waktu itu mewakili tangis seluruh bangsa Indonesia yang merindukan terbangnya "Gatotkoco".

Sebuah tekad dan semangat yang menggelora telah ditunjukkan dan dibuktikan oleh Habibie dalam mewujudkan cita-cita Ibu Pertiwi.Jerih payahnya selama mengabdi pada negeri telah membuat bangsa ini "melek" teknologi.Tanpa disadari Sumpahnya pada Tanah Air Indonesia mengantarkannya pada pengabdian tertinggi, mewarnai sejarah peradaban teknologi Republik Indonesia.Pesawat N-250 lah sebagai bukti konkretnya, bahwa Beliau tidak bermain dengan sumpahnya, tapi itulah ikatan jiwanya dengan negeri ini.

Hanya saja tekad itu dipatahkan oleh desakan IMF, agar PTDI mandiri dengan kata lain tidak lagi bergantung pada APBN. Sebuah keadaan dalam kisruh perpolitikan yang tidak menguntungkan dan menyebabkan N-250 Gatotkoco tak dapat beregenerasi.

Lalu, bila itu yang terjadi pada kita? Apakah kita punya sumpah untuk negeri yang kita cintai ini? Saat semua kehidupan kita terjamin dan tak kurang satu apapun, Ketika semua kesuksesan berada di depan mata dan menjanjikan, tatkala dihadapkan pada pilihan yang susah, antara pengabdian pada negeri dan kenyamanan pribadi. Apakah kita masih terpanggil jiwanya untuk kembali pada Ibu Pertiwi?Mungkinkah ada tekad membangun Republik ini dengan keterbatasan yang ada? Jika semua itu masih dalam keraguan, maka ke-Indonesia-an kita patut dipertanyakan.

Telkomsel tidak salah memilih Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai panutan dalam menyambut perayaan pencapaian 100juta pelannggan. Semoga titisan ke-Indonesia-an BJ Habibie dalam membangun bangsa menjadi gambaran ke-Indonesia-an Telkomsel membangun jaringan telekomunikasi yang mampu menghubungkan seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air, Indonesia Raya.

.

Sekian dan terimakasih.

Salam,

Indra Furwita

Biodata:Sumber

Sumber Pendukung: "Habibie & Ainun", oleh Bacharuddin Jusuf Habibie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun