Mohon tunggu...
Indra Furwita
Indra Furwita Mohon Tunggu... Aircraft Engineer -

Aviation & Travel Enthusiast, juga berkarya di IG @FlightEnjoyneer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Habibie, di Balik Terbangnya Gatotkoco

17 Mei 2011   23:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:31 1772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak berapa lama waktu setelah pertemuannya dengan Dr. Ibnu Sutowo, Habibie meninggalkan tugasnya di HFB dan terbang ke Jakarta. Tepat pada  26 Januari 1974 Ia tiba di Indonesia. Tak lama berselang Ia bertemu dengan Presiden Soeharto membahas tentang renacan strategis bangsa Indonesia untuk segera mengikuti kemajuan era abad ke-20 berdampingan dengan bangsa maju. Benang merah percakapan mereka sampai pada tekad bangsa ini untuk segera lepas landas bersaing dalam perhelatan teknologi kedirgantaraan. Adalah Habibie sebagai pilar utama yang mendapat tugas itu, sesuai dengan tekadnya untuk memenuhi sumpahnya pada Ibu Pertiwi.

"Kapan saya dapat melihat dan menyaksikan terbang perdana pesawat terbang rekayasa putra-putri Indonesia?" tanya Presiden Soeharto.

Spontan optimis Habibie menjawab "Insya Allah sepuluh tahun lagi tanggal 28 Januari 1984 di ruang yang sama ini, akan saya sampaikan undangan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk menyaksikan terbang perdana pesawat terbang rekayasa Bangsa Indonesia."

Setibanya kembali di Jerman, Habibie memutuskan untuk memohon ijin pada pimpinan HFB untuk mewujudkan niat suci nan mulia itu. Tidak berapa kemudia, Habibie dihadapkan pada tantangan untuk mengajak kembali rekan-rekan Insinyur Indonesia yang sudah bekerja dan memiliki pengalaman di bidang kedirgantaraan di perusahaan Jerman untuk berkenan kembali ke Indonesia. Satu hal yang memberatkan mereka yang dikumpulkan oleh Habibie saat itu di Konsulat Jenderal Indonesia, Hamburg adalah gaya hidup yang jauh lebih mapan, nyaman dan berkecukupan. Sebagian dari mereka enggan untuk kembali mengabdi pada negeri, karena takut tak mendapat jaminan yang setimpal dibanding mereka tetap di Jerman.

Dibawah naungan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio, kemudia berganti Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang sekarang berganti nama menjadi PTDI (PT. Dirgantara Indonesia), Habibie mempersiapkan segalanya termasuk sumberdaya manusia dan sumber daya pendukung lainnya. Bulat tekadnya untuk membuka mata bangsa Indonesia dengan terbangnya produk dari tangan putra-putri nusantara.

Barulah menjelang ulang tahun RI ke-50,pada tanggal 10 Agustus 1995, Habibie mampu menepati sumpahnya pada Ibu Pertiwi.Pada hari itu beliau mampu membuktikan bahwa putra-putri Indonesia mampu menghadirkan produk dirgantara dengan teknologi canggih. Sebuah pesawat N-250 Gatotkoco, yang bermakna buatan putra-putri Nusantara (N) yang mampu mengangkut penumpang sekitar 50 orang.

Pesawat N-250 Gatotkoco merupakan pesawat handal yang dibekali dengan teknologifly by wire,dimana seluruh gerakannya dikendalikan dengan sistem komputerisasi. Tercatat sebagai pesawat ketiga setelah Airbus dan Boeing yang lebih dulu menerapkannya. Saya kira sebuah sepak terjang yang luar biasa untuk sebuah kelahiran teknologi baru.Pada hari itu, 10 Agustus 1995, Habibie mampu meruntuhkan keraguan pihak yang pesimistis untuk terbang perdana N-250 Gatotkoco ini.Akhirnya, setelah untuk yang pertamakalinya roda (landing gear) pesawat N-250 Gatotkoco meninggalkan landasan Bandara Husein Sastranegara, saat itu pula Habibie mampu meruntuhkan keraguan pihak yang pesimistis untuk terbang perdana N-250 Gatotkoco ini. Tangis presiden Soeharto waktu itu mewakili tangis seluruh bangsa Indonesia yang merindukan terbangnya "Gatotkoco".

Sebuah tekad dan semangat yang menggelora telah ditunjukkan dan dibuktikan oleh Habibie dalam mewujudkan cita-cita Ibu Pertiwi.Jerih payahnya selama mengabdi pada negeri telah membuat bangsa ini "melek" teknologi.Tanpa disadari Sumpahnya pada Tanah Air Indonesia mengantarkannya pada pengabdian tertinggi, mewarnai sejarah peradaban teknologi Republik Indonesia.Pesawat N-250 lah sebagai bukti konkretnya, bahwa Beliau tidak bermain dengan sumpahnya, tapi itulah ikatan jiwanya dengan negeri ini.

Hanya saja tekad itu dipatahkan oleh desakan IMF, agar PTDI mandiri dengan kata lain tidak lagi bergantung pada APBN. Sebuah keadaan dalam kisruh perpolitikan yang tidak menguntungkan dan menyebabkan N-250 Gatotkoco tak dapat beregenerasi.

Lalu, bila itu yang terjadi pada kita? Apakah kita punya sumpah untuk negeri yang kita cintai ini? Saat semua kehidupan kita terjamin dan tak kurang satu apapun, Ketika semua kesuksesan berada di depan mata dan menjanjikan, tatkala dihadapkan pada pilihan yang susah, antara pengabdian pada negeri dan kenyamanan pribadi. Apakah kita masih terpanggil jiwanya untuk kembali pada Ibu Pertiwi?Mungkinkah ada tekad membangun Republik ini dengan keterbatasan yang ada? Jika semua itu masih dalam keraguan, maka ke-Indonesia-an kita patut dipertanyakan.

Telkomsel tidak salah memilih Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai panutan dalam menyambut perayaan pencapaian 100juta pelannggan. Semoga titisan ke-Indonesia-an BJ Habibie dalam membangun bangsa menjadi gambaran ke-Indonesia-an Telkomsel membangun jaringan telekomunikasi yang mampu menghubungkan seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air, Indonesia Raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun