[caption id="attachment_99365" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi by http://www.jan33ta.info"][/caption] "Emmuachhh"begitu bunyinya, sekecup ciuman pertama dari cinta pertama mendarat di pipiku sore itu.
Kecupan yang mengantarkanku pergi meraih cita-cita kelak di negeri orang. Walau masih duduk di bangku SMP diriku tidak bisa menahan godaan gadis-gadis di sekitarku. Vita namanya, gadis Jawa ini baru saja kupacari beberapa bulan lalu dan kini kami harus berpisah karena haluan cita-cita. Tidak mungkin kami mempertahankan cinta berbau monyet seperti ini, lambat laun pasti akan berakhir.
Ujian Akhir Nasional adalah gerbang neraka dan mengerikan, tidak lagi kami memikirkan Ujian Akhir Sekolah. Terpenting adalah kami bisa lulus dengan sempurna sehingga orang tua bangga. Aku adalah yang siap untuk itu, tidak ada kekhawatiran terpancarkan pada raut wajahku karena semua tersembunyi di balik senyuman keterpaksaan. Aku harus terlihat tenang, cerdas dan mapan. Maklum, diriku termasuk dalam bagian murid pandai sehingga tidak mungkin aku terlihat bodoh begitu saja karena panik.
Semua karena terlanjur dan terpaksa. Â Terlanjur dianggap pandai karena tak pernah merasakan duduk di bangku Taman Kanak-kanak, kulampaui lebih dulu kawan-kawanku yang lain. Caturwulan pertama Sekolah Dasar aku berada di peringkat ke delapan, tapi di caturwulan berikutnya peringkatku naik di urutan ketiga. Membanggakan memang karena hingga kelas VI SD aku tidak pernah terlepas dari 3 besar peringkat kelas, hanya sekali peringkat 4 karena berlibur terlalu lama hingga sebulan lamanya bersama keluarga di kampungnya kampung. Terpaksa, karena memang dipaksakan oleh kedua orang tuaku. Merekalah kakek dan nenekku yang sejak usiaku dua tahun menyiksaku dari hari ke hari. Mereka tidak pernah menyadari siksaan mereka membuatku takut, hingga benar-benar takut. Shalat dan belajar di subuh hari karena takut dimarahi, mandi pada pukul lima karena takut pahaku dicubit, mengaji karena takut dipukul sapu lidi, mencuci piring dan menyapu setiap pagi dan sore hari karena takut dicaci maki. Semua kegiatan rutin itu kulakukan karena satu alasan, takut.
Sebenarnya aku adalah korban kekerasan dan eksploitasi pada anak. Sepulang sekolah aku harus sudah mencuci piring, pakaian, hingga menyapu. Beruntnglah ada adik perempuanku yang ikut bersama kami sehingga tugasku berkurang. Tidak pernah akrab di telinga ini untuk bermain dengan siapapun. Bermain wayang dan kelereng adalah kegemaranku, tapi ternyata semua dianggap judi. Hari libur hanyalah istilah bagiku, semua kuhabiskan di perkebunan karet. Aku harus ikut bekerja dan menafkahi keluarga ini. Capek atau tidak setiap pertanyaan mereka akan kujawab tidak, itu wajib bagiku kalau tidak beliau akan geram dan tersiksalah diriku. Lagi-lagi semua kulakukan demi mereka yang kuabdikan di balik rasa takut. Tapi siapa yang peduli kekerasan dan eksploitasi semacam itu, kepala desa kami saja seorang penjudi.
Kini rasa bahagia menghampiriku, tidak lama lagi aku akan pergi jauh dari pandangan mereka. Tuhan menakdirkanku untuk berpisah dengan mereka di masa SMA ini. Mungkin sebuah pertanda nyata akhir dari penderitaanku selama ini. Aku akan melanjutkan pendidikan yang pastinya membosankan, tiga tahun harus bertemu dengan buku, pulpen, dan guru. Namun, aku harus bangga karena akan bersekolah di SMA favorit di kota. Semua teman, kerabat juga keluarga serentak menyemangatiku dengan pujian palsu yang semakin menyiksaku, lagi-lagi predikat siswa pandai disematkan padaku. Apa boleh buat semua kuterima saja, toh tidak ada ruginya bagiku.
Kisah cintaku selama dua bulan bersama Vita tak pernah diketahui oleh orang tuaku. Sampai akhirnya kecupan bibir pucatnya mendarat di pipiku dan sekuntum bunga yang diberikannya padaku tersembunyi rapi di kamar pribadiku. Toilet sekolah adalah saksi bisu waktu itu. Aku hanyalah lelaki sekaligus korban tak berdaya yang menjadi penikmat. Mungkin juga Ia terlalu sayang padaku sehingga tak rela jika ku pergi jauh ke kota. Maklum saja, dia hanya diijinkan untuk sekolah di desa ini.
"Ndra, aku sayang kamu. Hanya ini yan bisa kuberikan padamu"ucapnya singkat dan mengakhri kemesraan perdanaku bersama wanita.
"Dasar culun, sial!!!" dalam batinku, aku tak bisa berkata apapun karena diliputi rasa gugup. Mengapa mimpi basah yang sudah lama kualami tidak mampu membendung semua ini? Sudahlah, aku harus berkata sesuatu.
"Aku juga sayang kamu Vi"hanya itu dan dia berlalu membuka pintu toilet wanita yang menjadi ruang cinta kita sesaat. Tidak tercium lagi aroma pesing dan bau tak karuan di dalamnya. Semua pudar karena romantika cinta berbau monyet.
Sampai akhirnya kami harus berpisah untuk sementara. Bulat tekad kami untuk mempertahankan cinta ini sampai kapanpun. Ia tak akan selingkuh begitupun diriku juga semoga tak akan pernah. Tak ada tangis terlihat kecuali Ia menangis di kamarnya. Aku tak berani mengunjungi rumahnya karena tidak tahu dimana alamatnya.
"Kita harus berpisah sayang... Semoga cinta kita terus abadi...
Maaf sayang,,, Ku masih jauh lebih sayang pada mereka, keluargaku
Bila memang cinta kita akan putus, berakhirlah sudah
Kurelakan semua...
Sungguh tiada daya mempertahankan cinta berbau monyet ini
Selamat malam... Sayangku..."
Sejenak kuselipkan kata-kata manis sebagai penghantar tidur padanya. Tidak dengan surat atau sms, tapi alat komunikasi tercanggih waktu itu untuk bercinta yakni telehati.
Kupejamkan mata lalu kuhembuskan nafas panjang mengawali petualangan alam cerita berdongeng. Terus dan terus kumendayung, mengarungi  samudera mimpi indahku.
----------------------------------(*-*)-------------------------------------
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H