Mohon tunggu...
Indra Furwita
Indra Furwita Mohon Tunggu... Aircraft Engineer -

Aviation & Travel Enthusiast, juga berkarya di IG @FlightEnjoyneer.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Axio, Laptop dan Orang Bugis (Hendra)

6 Maret 2011   11:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:01 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pondok kebun itu aku coba paksakan mengadu, mengadukan satu keinginan besarku pada  Opa dan Oma. Bugis, itulah suku kami, lama berdomisili di pelosok Kalimantan Timur. Sejak usia 2 tahun saya tinggal bersama mereka. Kami hanyalah keluarga petani karet, yang berduit 3 minggu sekali. Hasilnya kami bayarkan untuk hutang-hutang sembako selama 3 minggu itu. Maka kami kenallah sistem ekonomi baru, sistem impas. "Oma, saya bisa minta sesuatu?" "Apa nak?" jawab Oma sembari mengunyah makanan dengan gusi-gusinya. "Seminggu lagi saya kan ke Jogja, boleh gak saya minta laptop?" tanyaku. Omaku tampak mengurangi tempo kunyahannya. Aku tahu benar apa yang dirasakan oleh Omaku kala itu. "Nanti Oma omongin sama Opamu dulu ya?" "Ya" "Pentingkah itu?" tanyanya dengan logat bugisnya. "Kalau kuliah itu penting Oma untuk ngerjakan tugas. Kan gak boleh pakai tulisan tangan sekarang kalau ngumpul tugas atau laporan" jawabku dengan nada meyakinkan. Aku memang terlahir dari keluarga bugis, tapi saya hanya bisa mengartikan bahasa itu. Untuk menggunakannya dalam perbincangan sesama orang bugis saya tidak mahir. Bahkan dari logat saya berbicara, banyak orang lebih mengenal saya sebagai orang Jawa. Di desa Bunga Putih ini, saya tumbuh kembang menjadi dewasa. Hingga kini telah berhasil menyelesaikan sekolah di SMA favorit di kota. Hingga kuputuskan untuk kembali melanjutkan studi ke Jogja. Awalnya mereka tak menyetujui, khusunya Oma. Tapi tekad, semangat dan motivasi saya mampu merubuhkan ego Omaku. Saya tidak pernah mengenal apa itu komputer. Namun, om Mustar mengajarkanku dengan PC-nya yang penuh dengan Trojan. Hingga akhirnya saya tahu bagaimana mengetik dan mencetak hasi ketikan saya. Bahagia rasanya bisa tahu banyak, walau tak sebanyak teman-teman yang sudah lebih tahu dengan laptop. Maka itu, pikiran dangkal saya menginginkan laptop muncul.

(*-*)

Hari berlalu singkat, hingga petang terakhir saya Shalat Maghrib di rumah. Tak juga ada pertanda keinginanku direspon. Akhir shalat ini aku berdo'a, "Ya Allah, Engkau tahu segala yang terbaik dan terburuk untuk hamba. Ku percaya, kehendakMu adalah mulia di atas semua itu". Malam itu adalah malam terakhir saya tidur di rumah. Kemungkinan esok pagi saya sudah akan terbang ke Yogyakarta. Menuntut ilmu dengan status sementara sebagai mahasiswa. Membawa amanah besar di pundak, semua satu demi orang tua tercinta. Ya... Opa dan Oma, Opa dan Oma, yang mulia hatinya menggandengku setiap saat. Namun, kini akau dengan mudah bersih keras ingin lepas darinya. Durhaka kah aku? Ku kan tahu jawabnya nanti. "Nak, sini dulu!" Oma mencegat langkahku menuju kamar tidur untuk berkemas. Duduk aku di hadapan mereka berdua, tampak Opa sedang mengenakan sarung karena kedinginan. Oma lantas memulai perbincangan. "Sudah siap?" "Masih sebagian Oma, tapi tinggal pakaian aja kok" "Nak, besok kamu mau pergi. Tolong jangan kecewakan Oma sama Opa. Jangan takut dengan Oma tapi takutlah dengan dirimu. Allah akan selalu mengawasimu, ingat itu!. Kamu bisa bohongi kami, tapi tidak sama Tuhan" terang Oma. "Ya Oma" "Kami tahu kamu bohong, kalau Tuhan sudah menghukum kamu. Kami mungkin bisa tidur tapi tidak dengan Tuhan. Jaga diri baik-baik, dan ingat jangan main cewek-cewekan" Camnya padaku, seraya melempar senyuman kecil padaku. Ya, saya tidak diijinkan untuk berpacaran dan kumaklumi itu. "Ya Oma" bagiku ini adalah wejangan, tidak ada yang dapat dibantah, maka aku menurut saja. Kata-kata itu akan selalu terngiang hingga akhir masa hidupku nanti. Opaku tampak menggigil karena kedinginan. Mungkin karena sudah tua, sensitifitasnya besar seperti itu. Padahal saya tidak sedikitpun merasa kedinginan. "Ndra, Oma tadi sudah benar. Tinggal kamu aja mau nurut atau tidak. Opa percaya, kamu amanah keluarga ini".Opa juga menyambung pembicaraan Oma. "Kami di sini cuma bisa berdo'a, kamu bisa baik-baik saja. Jangan harap kamu mau dijenguk setiap waktu, jelas gak bisa. Walau kami sudah tua, capek atau tidak bukan masalah. Kalau kamu butuh uang, telpon aja. Insya Allah bangaimanapun caranya kita usahakan" tegas Opa kepadaku. Ia memang tidak banyak berbicara dalam keluarga.Tapi setiap kali Ia memberikan arahan, saya tak akan pernah bisa lupa. Seprtinya Opa tidak kedinginan lagi, Ia tampak duduk dengan sempurna. Tapi sarungnya tetap saja mengembang membungkus dirinya. Sepertinya Ia akan berkata serius denganku. Mungkin ini adalah pesan terkahir yang disematkan padaku. Maka akupun memperbaiki posisi dudukku. "Hen, Opa sama Oma sudah bangga kamu bisa sekolah dengan pintar. Waktu SMA-pun orang kampung banyak yang memuji kami, kalau sudah berhasil mendidik kamu." Opa kembali melanjutkan perkataannya. Benar perkiraanku, ini adalah wejangan terkahir beliau. "Ya Opa, semua karena Oma dan Opa. Kalau 3 tahun yang lalu saya gak diijiinkan sekolah di Kota, kan gak mungkin saya bisa berprestasi sampai dapat beasiswa ke Jogja" tanggapku "Nah, sekarang kami mau kamu juga berprestasi di kuliah nanti. Ingat kamu adalah pilar dari keluarga kecil ini" "Hehehe, ya Opa" Aku tertawa kecil merasa terpuji. Seraya membuka sarung, Opa tampak mengeluarkan sesuatu dibalik sarungnya. Sebuah kotak segi empat berwarna kekuningan dengan tulisan Axio. "Ini laptop buat kamu. Katanya ini laptop terbaru dan cocok untuk anak teknik. Semoga kamu suka" Saya lantas memeluk mereka berdua, tak bisa lagi aku berkata-kata. Inilah yang dapat aku ungkapkan kepada mereka sebagai ungkapan terimakasih karena harapanku, permintaanku dipenuhi. Kami semua menitikkan air mata bahagia bercampur kesedihan. Aku haru bahagia dan masih belum bisa pecaya, bahwa orang tuaku bisa memenuhi yang kupinta. Sebelumnya tak kuharap lagi yang demikian, karena tahu keadaan kami yang sebenarnya.

(*-*)

Ku masuk ke kamar lalu ku kunci. Wooowww... Ini benar-benar laptop terbaru. Bila saya pakai ke kesekolah maka teman-temanku pasti mengaguminya. Warnanya hitam elegan berukuran 14''. Elegannya nampak lengkap dengan dengan nada opening khas wOmaws 7 ketika kunyalakan. Kulihat-lihat sekelilingnya, mencoba melihat dan memastikan kelengkapannya. Tampak di pojok kanan bawah terdapat label Core i7, produk intel terbaru. Saya sering melihatnya dipajang dan dipromosikan di baliho-baliho jalan raya kota. Terpukau saya dibuatnya, dulu guruku sempat membahasnya di SMA . Kehebatannya ditunjang oleh mikroarsitektur Nehalem yang menjadikan kerjanya lebih cepat. Fiture Turbo Modenya dengan signifikan menigkatkan kinerja sistem. Sangat cocok untuk saya yang kuliah dijurusan teknik, lagi pula akrab dengan dunia desain. Terimakasih Opa Oma. Kalian telah memberikan apa inginku bahkan lebih dari yang kuduga dan kuminta sebelumnya. Akan kujaga dan kugunakan dengan sebaik mungkin. Tak kupikirkan lagi, bagaimana orangtuaku bisa mendapatkannya. Yang terbayang sekarang adalah bagaimana saya bisa menyelesaikan tugas-tugas kuliah saya dengan baik dan memuaskan. Desain apapun jauh lebih mudah. Hura-hura dalam hati terus saja kurasakan karena laptop ini. Tidak banyak yang kutahu, tapi telinga ini sudah banyak mendengar agungan atas kehandalan i7. Sejak dulu saya tak pernah menaruh hati dengan produk axio. Saya hanya kenal dengan merk Toshiba, Asus, hingga yang terbaru Alien Ware. Tidak ada yang istimewa, tapi karena orang tua yang memberikannya terima sajalah. Lagi pula saya tidak tahu persis penggunaan produk ini. Nikmati sajalah.

(*-*)

Kini aku duduk di semester dua. Perlahan baru kuketahui, bahwa selama ini orang tuaku mengkredit laptop itu. Saya tidak tahu kalau ternyata setiap bulan mereka harus membayar dalam jumlah besar. Belum lagi uang kuliah saya yang juga tidak kalah penting. Kini aku menyesali semua permintaanku.

Terlambat sudah, tiada lagi waktu untuk menyatakan penyesalan itu. Yang pantas kulakukan hanya kuliah sebaik-baiknya. Laptop itu kini menjadi benda paling berharga yang kubawa dari kampung, kesayanganku tentunya. Memang pada hasilnya aku bisa memperoleh nilai di atas rata-rata. Namun, sisi lain berkata.

"Hen, ada telpon tuh" kata teman kos ku, Tyo.

"Ok... Ntar saya lagi makan"

Sampai akhirnya dering hp mati dan tak sempat kuangkat. Usai mencuci tangan, kulihat pada layar hp 2 panggilan tak terjawab. Semua dari Opa, dan hp kembali berdering.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun