Tiga tahun terakhir, pemangku kepentingan pembangunan menyorotkan matanya pada salah satu provinsi yang konsisten menyandang gelar "Provinsi Paling Timpang di Indonesia". Bukan Papua, DKI Jakarta, ataupun Jawa Barat. Provinsi yang dimaksud adalah D.I. Yogyakarta (DIY)
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, ketimpangan di DIY terakhir tercatat pada angka 0.422 poin per September 2018. Secara tren, perkembangannya tidak istimewa jika dibandingkan provinsi lainnya, fluktuatif. Dua provinsi lainnya dengan tingkat ketimpangan yang mencapai 0.4 poin juga mengalami tren yang serupa. Meskipun tidak istimewa trennya, namun predikat sebagai "Provinsi Paling Timpang di Indonesia" cukup menarik perhatian khalayak luas.
Kondisi ketimpangan di DIY yang cukup mengejutkan tidak perlu dipandang secara berlebihan bahwa terjadi ketidakadilan ekonomi di provinsi ini. Perlu dipahami lebih lanjut realita yang terjadi.
Ketimpangan ekonomi                                         Â
Ketimpangan ekonomi dikenal khalayak luas sebagai salah satu frasa berkonotasi negatif yang menunjukkan ketidakadilan di masyarakat dalam hal pembagian "kue" ekonomi. Kue ekonomi yang dimaksud sering digambarkan sebagai pendapatan yang diterima setiap orang atau rumah tangga.
Pendapatan sebagai ukuran ketimpangan dapat dengan mudah diukur, dikalkulasi dan diinterpretasikan. Beragam formula penghitungan ketimpangan telah dikemukakan, seperti Kurva Kuznets, Indeks Gini, Indeks Atkinson, Indeks Williamson dan sebagainya (lihat Piketty (2015) untuk melihat perkembangan pengukuran ketimpangan ekonomi). Sedangkan di Indonesia, Indeks Gini lebih sering digunakan untuk mengukur ketimpangan, karena negara lain pun menggunakannya (lihat data di perbandingan ketimpangan antar negara di situs World Bank).
Perhitungan ketimpangan yang menggunakan pendapatan, dapat pula diukur dengan pengeluaran. Di dalam ilmu ekonomi, Pengeluaran sama dengan Pendapatan. Oleh karena itu, pengeluaran dapat menjadi gambaran yang baik atas pendapatan. Berangkat dari ide ini Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya menggunakan pengeluaran per kapita untuk mengukur ketimpangan ekonomi, selain karena kecenderungan seseorang yang seringkali tidak jujur atau bias ketika mengungkapkan pendapatannya (Moore, Stinson, & Welniak, 2000; Neri & Zizza, 2010). Sumber data pengukuran ketimpangan ekonomi di Indonesia adalah sebuah survey tahunan bernama Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan didalam kuesionernya tidak akan ditemukan variabel pendapatan.
Kehidupan Ekonomi di DIY Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Komentar dan kritik terhadap Pemerintah DIY bermunculan. Investasi dan pembangunan skala besar yang terjadi di Yogyakarta dituding menjadi penyebabnya. Jika kembali merujuk kepada data BPS Provinsi DIY, perkembangan ketimpangan di provinsi ini sejalan dengan pertumbuhan PDRB di bidang Konstruksi dan Real Estate sejak 2016. Bahkan pertumbuhan dua sektor tersebut lebih cepat daripada sektor Pertanian. Padahal, lebih dari 20 persen pekerja di provinsi ini bekerja di sektor pertanian.
Bagaimana dengan pengangguran di Provinsi DIY ? Sempat mengalami penurunan drastis pada tahun 2016 sebesar 1,35 basis poin dan perlahan mengalami kenaikan di tahun -- tahun setelahnya. Pada tahun 2018, Provinsi DIY memiliki tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang jauh berada dibawah TPT nasional. Selain itu, TPT di provinsi ini berada di peringkat tujuh terendah secara nasional. Kondisi lapangan pekerjaan di DIY tidak cukup mengkhawatirkan.
Meskipun kondisi kesempatan kerja di DIY tidak terlalu mengkhawatirkan, ternyata persentase penduduk miskin di provinsi ini cukup tinggi, 11,81 persen, lebih daripada persentase di tingkat nasional. Persentase kemiskinan tersebut adalah yang terendah di Provinsi DIY dalam kurun waktu 12 tahun terakhir dan berada pada peringkat 12 dari 34 provinsi di Indonesia pada tahun 2018. Jika dilihat lebih lanjut, konsumsi kalori per kapita di provinsi ini mencapai 2250 kkal/hari, melebihi ambang konsumsi makanan masyarakat miskin, yaitu 2100 kkal/hari.
Jika dibandingkan provinsi lainnya, konsumsi kalori per kapita di DIY adalah tertinggi ketiga dibandingkan provinsi lainnya dengan persentase konsumsi protein paling besar se-Indonesia, yaitu 69 persen dari seluruh konsumsi makanan. Selain itu, Provinsi DIY adalah provinsi terendah di Indonesia untuk persentase penduduk yang konsumsi kalorinya 1400 kkal/hari. Meskipun timpang dan prevalensi kemiskinan yang tinggi, pada kenyataannya kebutuhan dasar penduduk masih dapat terpenuhi dengan baik.
Secara logika, dapat diambil kesimpulan seperti berikut. DIY memang provinsi dengan tingkat ketimpangan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi, namun sedikit sekali orang yang menganggur dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Â Â
Di Balik Ketimpangan Ekonomi DIY Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Penjelasan mengenai ketimpangan ekonomi dapat memberikan kesimpulan bahwa ketimpangan yang terjadi di DIY adalah ketimpangan pengeluaran. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan estimasi jika realita pendapatan (serta harta) yang dimiliki oleh masyarakat tidak sepenuhnya digunakan untuk konsumsi. Kecenderungan seseorang untuk konsumsi berbeda -- beda dan pada beberapa kesempatan, kerap kali pertambahan pendapatan tidak diikuti dengan meningkatnya pertambahan pengeluaran. Terjadi selisih antara kondisi kemakmuran aktual seorang individu dibandingkan dengan pengeluarannya.
Kepala BPS Provinsi DIY bahkan pada tahun 2017 mengatakan kalau kecenderungan konsumsi masyarakat DIY adalah gemar berhemat dan sederhana, sehingga membuat tingkat pengeluaran menjadi rendah, meskipun tidak terjadi kesulitan memenuhi kebutuhan makanan.
Penggunaan variabel upah sebenarnya telah digunakan oleh BPS di Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Akan tetapi, penggunaan data Sakernas untuk menggambarkan kondisi ekonomi agregat (seperti ketimpangan ekonomi) tidak bersifat menyeluruh. Hal ini dikarenakan Sakernas hanya menghitung penduduk berusia kerja (penduduk berumur 15 -- 64 tahun) sebagai populasi, berbeda dengan Susenas yang menjadikan seluruh penduduk Indonesia sebagai populasi. Penggambaran yang diberikan Sakernas hanya terbatas pada segmen penduduk tertentu.
Secara teknis, BPS dalam menyusun indikator ketimpangan ekonomi tidak menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh Instansi pemerintah lainnya, dalam hal ini adalah data administrasi. BPS dan Dirjen Dukcapil (Kependudukan dan Pencatatan Sipil) misalnya, sudah bertahun -- tahun menganut konsep dasar kependudukan yang berbeda. BPS mencatat semua orang yang bermukim di suatu tempat (dengan atau tanpa ktp setempat) sebagai penduduk, sedangkan Dukcapil mencatat penduduk berdasarkan data administrasi kependudukan (kepemilikan ktp setempat).
Dalam konteks penyusunan statistik di DIY, keberadaan pendatang berperan sangat signifikan. Penyeragaman konsep akan memudahkan pencatatan statistik dan pengumpulan data survey dengan melibatkan instansi pemerintah. Kerja sama antar pihak tentunya menjadi penting dalam hal pencatatan statisik yang dapat menjadi dasar perumusan kebijakan yang berbasis bukti dan penelitian.Â
Ketimpangan ekonomi di DIY memang bukan hal yang aneh. Dalam waktu tiga tahun, warga DIY mengalami disparitas besar antara pengeluaran kelompok masyarakat menengah atas dan bawah, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat mampu mencukupi kebutuhan dan hidup dengan bahagia (sejak 2014, Indeks Kebahagiaan DIY berada di atas rata -- rata Indeks Kebahagiaan nasional).
Dibalik fenomena ketimpangan Provinsi DIY, ada detil yang harus diketahui. Seperti yang dikatakan oleh Bregman (2016), dibalik angka statisik terdapat beberapa asumsi dan praduga, dan pada selanjutnya mempengaruhi cara manusia bertindak.
Daftar Pustaka                                           Â
Bregman, R. (2016). Utopia for Realists. (E. Manton, Ed.) (English). Amsterdam: The Correspondent.
Moore, J. C., Stinson, L. L., & Welniak, E. J. (2000). Income Measurement Error in Surveys: A Review. Journal of Official Statistics, 16(4), 331--361.
Neri, A., & Zizza, R. (2010). Income Reporting Behavior in Survey Analysis (October No. 777).
Piketty, T. (2015). The Economics of Inequality. (A. Goldhammer, Ed.) (English Ed). London: The Belknap Press of Harvard University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H