Jika dibandingkan provinsi lainnya, konsumsi kalori per kapita di DIY adalah tertinggi ketiga dibandingkan provinsi lainnya dengan persentase konsumsi protein paling besar se-Indonesia, yaitu 69 persen dari seluruh konsumsi makanan. Selain itu, Provinsi DIY adalah provinsi terendah di Indonesia untuk persentase penduduk yang konsumsi kalorinya 1400 kkal/hari. Meskipun timpang dan prevalensi kemiskinan yang tinggi, pada kenyataannya kebutuhan dasar penduduk masih dapat terpenuhi dengan baik.
Secara logika, dapat diambil kesimpulan seperti berikut. DIY memang provinsi dengan tingkat ketimpangan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi, namun sedikit sekali orang yang menganggur dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Â Â
Di Balik Ketimpangan Ekonomi DIY Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Penjelasan mengenai ketimpangan ekonomi dapat memberikan kesimpulan bahwa ketimpangan yang terjadi di DIY adalah ketimpangan pengeluaran. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan estimasi jika realita pendapatan (serta harta) yang dimiliki oleh masyarakat tidak sepenuhnya digunakan untuk konsumsi. Kecenderungan seseorang untuk konsumsi berbeda -- beda dan pada beberapa kesempatan, kerap kali pertambahan pendapatan tidak diikuti dengan meningkatnya pertambahan pengeluaran. Terjadi selisih antara kondisi kemakmuran aktual seorang individu dibandingkan dengan pengeluarannya.
Kepala BPS Provinsi DIY bahkan pada tahun 2017 mengatakan kalau kecenderungan konsumsi masyarakat DIY adalah gemar berhemat dan sederhana, sehingga membuat tingkat pengeluaran menjadi rendah, meskipun tidak terjadi kesulitan memenuhi kebutuhan makanan.
Penggunaan variabel upah sebenarnya telah digunakan oleh BPS di Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Akan tetapi, penggunaan data Sakernas untuk menggambarkan kondisi ekonomi agregat (seperti ketimpangan ekonomi) tidak bersifat menyeluruh. Hal ini dikarenakan Sakernas hanya menghitung penduduk berusia kerja (penduduk berumur 15 -- 64 tahun) sebagai populasi, berbeda dengan Susenas yang menjadikan seluruh penduduk Indonesia sebagai populasi. Penggambaran yang diberikan Sakernas hanya terbatas pada segmen penduduk tertentu.
Secara teknis, BPS dalam menyusun indikator ketimpangan ekonomi tidak menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh Instansi pemerintah lainnya, dalam hal ini adalah data administrasi. BPS dan Dirjen Dukcapil (Kependudukan dan Pencatatan Sipil) misalnya, sudah bertahun -- tahun menganut konsep dasar kependudukan yang berbeda. BPS mencatat semua orang yang bermukim di suatu tempat (dengan atau tanpa ktp setempat) sebagai penduduk, sedangkan Dukcapil mencatat penduduk berdasarkan data administrasi kependudukan (kepemilikan ktp setempat).
Dalam konteks penyusunan statistik di DIY, keberadaan pendatang berperan sangat signifikan. Penyeragaman konsep akan memudahkan pencatatan statistik dan pengumpulan data survey dengan melibatkan instansi pemerintah. Kerja sama antar pihak tentunya menjadi penting dalam hal pencatatan statisik yang dapat menjadi dasar perumusan kebijakan yang berbasis bukti dan penelitian.Â
Ketimpangan ekonomi di DIY memang bukan hal yang aneh. Dalam waktu tiga tahun, warga DIY mengalami disparitas besar antara pengeluaran kelompok masyarakat menengah atas dan bawah, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat mampu mencukupi kebutuhan dan hidup dengan bahagia (sejak 2014, Indeks Kebahagiaan DIY berada di atas rata -- rata Indeks Kebahagiaan nasional).
Dibalik fenomena ketimpangan Provinsi DIY, ada detil yang harus diketahui. Seperti yang dikatakan oleh Bregman (2016), dibalik angka statisik terdapat beberapa asumsi dan praduga, dan pada selanjutnya mempengaruhi cara manusia bertindak.
Daftar Pustaka                                           Â