Artinya selama belasan tahun mutu pendidikan Indonesia stagnan walaupun telah dianggarkan insentif tambahan bagi para guru berupa Tunjangan Profesi Pendidik.
Tambahan insentif ini menurut kajian Bank Dunia baru sebatas meningkatkan penghasilan pendidik tetapi tidak berdampak pada peningkatan kapasitas dan kualitas pendidik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam suatu acara mengungkapkan bahwa 60 persen anggaran pendidikan, berarti sekitar 304 trilyun di tahun 2020, terserap untuk gaji dan tunjangan guru tetapi kualitas pendidikan Indonesia jauh dibawah negara tetangga seperti Vietnam.
Yang paling menyedihkan dari situasi ini adalah ternyata para pendidik Indonesia sangat anti-kritik. Didalam benak mereka menjadi guru artinya menjadi Yang Maha Benar.
Ungkapan seperti kacang lupa kulit, orang tidak tahu terima kasih atas jasa-jasa para guru, hanya sebatas komentator sepakbola saja yang hanya bisa memberi komentar tanpa bisa bermain bola adalah kalimat yang biasa muncul dari para guru jika ada kritikan mengenai kapasitas dan kualitas mereka.
Sambil bergurau terkadang saya mengatakan bahwa saya akan berhenti menjadi komentator sepakbola jika mereka menunjukkan memang mereka mampu bermain sepakbola dengan baik.
Mungkin saatnya Indonesia memperlakukan para guru seperti para pemain sepakbola profesional. Sehingga semua guru bekerja berdasarkan kontrak alias tidak ada yang permanen, dan digaji sesuai dengan kapasitas, kualitas, dan kinerja.
Saya sangat yakin bahwa negara tidak akan rugi jika memang ada guru yang layak dibayar 100 miliar per bulan sama seperti Barcelona membayar pemain terhebatnya. Butuh perubahan radikal untuk membangun SDM unggul, toh ini ide dari para guru sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H