Kritikan saya tentang kondisi pembelajaran jarak jauh dalam jaringan sejak pandemi covid-19 yang belum efektif inipun mendapatkan reaksi negatif yang cukup keras dari para pendidik.
Mereka beralasan ketidakefektifan pembelajaran jarak jauh dalam jaringan disebabkan karena minimnya sarana prasarana, sulitnya jaringan dan akses internet, keterbatasan kuota untuk paket data, dan lain sebagainya.
Dari satu sisi memang ada benarnya. Tetapi, jika kita melihat dari sudut pandang persaingan global dan tantangan revolusi industri 4.0, pandangan tersebut seakan mengatakan bahwa dalam kompetisi piala dunia kesebelasan Indonesia hanya akan bisa menjadi juara dunia bila bola yang dipakai adalah bola plastik dan pemainnya tidak boleh menggunakan sepatu sepak bola.
Faktanya kita semua yakin bahwa tim Indonesia tetap akan dibantai oleh Lionel Messi dan kawan-kawan walupun mereka "nyeker" dan menggunakan bola plastik.
Tulisan ini tentunya bukan bertujuan untuk mendiskreditkan para pendidik seperti yang sering dituduhkan kepada saya. Justru sebaliknya tulisan dibuat ini untuk memuliakan para guru.
Guru adalah profesi yang mulia dan terhormat untuk itu tidak sembarang orang bisa menjadi pendidik yang baik dengan kompetensi dan kapasitas yang mumpuni untuk membimbing peserta didik menjadi manusia yang utuh, unggul, dan berakarakter baik.
Seorang mantan pejabat esolon 1 Kemdikbud pernah berkata, andaikan untuk menerbangkan dan mendaratkan sebuah pesawat terbang, seorang pilot harus memiliki 9 keterampilan tetapi ternyata sang pilot hanya memiliki 5 keterampilan saja, apakah kita berani untuk menjadi penumpang dalam pesawat itu?
Tanpa ragu saya jawab tentunya tidak berani karena pilot ini bisa menerbangkan pesawat tapi belum tentu bisa mendaratkannya. Sambil tersenyum beliau mengatakan, itulah kondisi para pendidik kita saat ini, dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2015 menunjukkan rerata nasional hanya di angkat 56,69 atau D kalau di menggunakan skala nilai di perguruan tinggi.
Bagaimana dengan output dari pembelajaran? Kemampuan membaca (literasi) anak Indonesia mendapatkan skor 371 pada tes PISA tahun 2000 dan setelah 7 (tujuh) kali mengikuti tes yang sama dalam kurun waktu 18 (delapan belas) tahun, pada tahun 2018 anak Indonesia masih mendapatkan skor yang sama di 371.
Sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata anak-anak dari negara OECD yang memiliki skor 487 untuk membaca pada tes PISA 2018. Jika kemampuan membacanya rendah tentu kemampuan belajarnya juga rendah.
Jika kemampuan belajarnya rendah otomatis tingkat kecerdasannya juga pasti rendah. Hal senada juga terjadi pada kemampuan numerasi (matematika) dan sains.