Empat pekan telah berlalu sejak Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran nomor 36962/MPK.A/HK/2020 dimana seluruh kegiatan belajar mengajar baik di sekolah maupun di kampus perguruan tinggi menggunakan metoda daring (dalam jaringan) alias online sebagai upaya pencegahan terhadap perkembangan dan penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Sejak adanya surat edaran ini ada beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
Pertama adalah menghapus pelaksanaan Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah yang berbentuk pengumpulan siswa. Ada berbagai macam opsi untuk ujian. Sekolah bisa melaksanakan Ujian Sekolah misalnya melalui online, atau mengambil angka dari nilai 5 semester terakhir. Itu adalah opsi yang bisa ditentukan oleh masing-masing sekolah. Dan Ujian Sekolah tersebut tidak untuk mengukur ketuntasan seluruh capaian kurikulum bahkan sampai semester terakhir yang mungkin belum optimal dengan metoda daring.
Dalam kebijakan ini disampaikan pula poin Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali ditekankan bahwa 70% penerimaan siswa melalui zonasi. Jadinya sudah seharusnya tetap berdasarkan area. Sisanya jalur prestasi itu menggunakan dua opsi: akumulasi nilai rapor siswa tersebut selama 5 semester terakhir; atau prestasi akademik atau non-akademik di luar sekola h, seperti menang-menang lomba, partisipasi dalam berbagai macam aktivitas dan lain-lain. Intinya pembatalan UN ini tidak boleh berdampak pada penerimaan peserta didik baru baik untuk SMP maupun SMA/K.
Kebijakan kedua merupakan hasil rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo yaitu 5 (lima) langkah strategis untuk meningkatkan skor PISA (Programme for International Student Assessment), sebuah studi internasional yang diselenggarakan oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) beserta konsorsium internasionalyang membidangi masalah Sampling, Instrumen, Data, Pelaporan, dan sekretariat, tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun .
Kelima langkah strategis tersebut adalah: transformasi kepemimpinan sekolah dan pengembangan marketplace daring untuk dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah); transformasi program Pendidikan dan Pelatihan Guru (PPG); penyederhanaan kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan siswa; mengganti Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mengikuti model PISA; dan kemitraan daerah dan masyarakat sipil.
Ketiga sebagai kebijakan yang paling baru adalah peluncuran program Belajar dar Rumah dimana Kemdikbud bekerja sama dengan TVRI untuk menyiarkan program pembelajaran untuk semua jenjang mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, dan juga akan menyajikan program Bimbingan Orangtua dan Guru serta tayangan kebudayaan pada akhir pekan. Kebijakan Belajar dari Rumah merupakan jawaban dari masalah akses terhadap sarana dan prasarana termasuk masalah ekonomi dan geografis dalam belajar dengan metoda daring atau online.
Kebijakan-kebijakan tersebut diatas merupakan langkah yang positif namun cenderung reaktif. Untuk mensukseskan program pembangunan SDM Unggul, Indonesia butuh kebijakan pendidikan yang proaktif. Langkah-langkah nyata dan fundamental yang mampu secara strategis membawa Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-5 sedunia di tahun 2045. Dengan kata lain Indonesia butuh program-program pendidikan yang memberikan dampak perbaikan jangka panjang.
Program-program pendidikan yang telah dijalankan pemerintah selama 20 (dua puluh) tahun terakhir ternyata belum mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa walaupun telah menghabiskan uang rakyat ribuan trilyun.
Argumentasi tersebut diteguhkan dengan kondisi kemampuan membaca anak Indonesia dengan skor 371 pada tes PISA tahun 2000 dan setelah 7 (tujuh) kali mengikuti tes yang sama dalam kurun waktu 18 (delapan belas) tahun, pada tahun 2018 anak Indonesia masih mendapatkan skor yang sama di 371.
Sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata anak-anak dari negara OECD yang memiliki skor 487 untuk membaca pada tes PISA 2018. Jika kemampuan membacanya rendah tentu kemampuan belajarnya juga rendah. Jika kemampuan belajarnya rendah otomatis tingkat kecerdasannya juga pasti rendah. Hal senada juga terjadi pada kemampuan matematika dan sains.
Banyak sekali program-program pendidikan yang berjalan selama bertahun-tahun berjalan dan memakan biaya ribuan trilyun namun belum pernah dievaluasi keefektifan dan efisiensinya. BOS, Tunjangan Profesi Pendidik (TPP), Pendidikan dan Pelatihan Guru (PPG), Dana Alokasi Khusus (DAK) baik fisik maupun non fisik, Program Indonesia Pintar (PIP) dan lain sebagainya adalah program-program pendidikan unggulan pemerintah yang belum pernah dievaluasi.
Harusnya menjadi pertanyaan besar bagi kita semua mengapa mutu pendidikan begitu rendah, akses belum terbuka lebar, bahkan di tahun 2020 ini sekolah serta para guru tidak siap menjalankan pembelajaran daring termasuk keterbatasan sarana dan prasarana digital, padahal uang rakyat sudah banyak digunakan untuk bidang pendidikan. Koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan sistem pendidikan sejak pendidikan diotonomikan juga belum kondusif.
Di berbagai kesempatan saya selalu menyampaikan bahwa salah satu penyebab mengapa perkembangan pendidikan Indonesia stagnan dikarenakan pemerintah tidak pernah membuat cetak biru atau blueprint pendidikan. Semua program yang ada hanya sekedar rutinitas atau kebijakan yang tidak berkesinambungan, sehingga dikenal istilah ganti menteri ganti kebijakan.
Adanya Blueprint Pendidikan Indonesia akan membantu berbagai pihak pemangku kepentingan pendidikan untuk menyusun langkah atau program yang terukur dalam mencapai SDM unggul yang dicita-citakan. Sekaligus memudahkan evaluasi terhadap program-program tersebut sehingga tidak hanya sebatas terserapnya anggaran.
Kabar baiknya revisi Undang Undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2020 ini. Cetak Biru Pendidikan Indonesia harus menjadi bagian integral dari revisi UU Sisdiknas. Dan hal tersebut akan menjadi langkah yang proaktif. Menurut beberapa anggota Komisi X DPR RI yang saya hubungi melalui pesan Whatsapp, pembahasan revisi Sisdiknas masih menunggu langkah nyata pemerintah sebagai pengusul.
Dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti saat ini, saya rasa ini adalah waktu yang tepat untuk memanggil putra-putra terbaik bangsa, para tokoh dan pakar pendidikan untuk bersama-sama mencurahkan pikiran dalam menyusun cetak biru pendidikan Indonesia. Kesempatan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi secara obyektif program-program yang telah berjalan dan mulai menyusun langkah-langkah perbaikan agar SDM Unggul dan Indonesia Emas tidak berhenti sebagai mimpi semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H