Di berbagai belahan dunia, program pembangunan SDM akan selalu dimulai dari guru. Sering kita dengar kisah bagaimana Kaisar Hirohito membangun kembali Jepang setelah negaranya hancur akibat kerusakan yang diakibatkan oleh bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki.
Setelah menyerah kepada Sekutu, Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka "Berapa jumlah guru yang tersisa?".
Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru.
Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, "Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu.
Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan."
Hal senada juga kita temui dari negara tetangga kita yang tidak memiliki sumber daya alam sama sekali tetapi mampu mengoptimalkan asset yang mereka miliki yaitu sumber daya manusia secara optimal melalui pendidikan.
Almarhum Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, berkeyakinan untuk mendidik sumber daya manusia masa depan yang unggul, mereka harus dididik oleh generasi masa kini yang terunggul.
Artinya guru-guru Singapura adalah representasi dari SDM terunggul milik Singapura. Dan konsep tersebut telah berhasil membawa Singapura diakui sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia dan juga telah membawa warga negaranya ke tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi.
Finlandia sebagai negara yang juga dianggap salah satu sistem pendidikan terbaik dunia melalui konsep yang sama. Semua dimulai dari guru-guru terpilih yang kualitasnya tinggi.
Bagaimana dengan Indonesia? Masih terngiang ditelinga saya percakapan beberapa orang tua tentang bimbel untuk anak-anaknya. Mereka membandingkan kualitas bimbel yang satu dengan lain dari segi berapa banyak pengajarnya yang masih berstatus sebagai mahasiswa PTN atau lulusan PTN tetapi bukan yang dari LPTK.
Mereka rela membayar mahal dengan keyakinan bahwa kemampuan pedagogi para mahasiswa atau lulusan PTN ini jauh diatas para gurunya disekolah. Dan percakapan seperti ini sudah ribuan kali saya dengar.