[caption id="attachment_419071" align="aligncenter" width="567" caption="Kampus II Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin"][/caption]
Beberapa hari ini saya seringkali melihat tulisan OKFT-UH di media sosial facebook tentang “ Masuk Teknik UNHAS? Berorganisasi ‘Diharamkan’!” https://www2.facebook.com/okft09/posts/943814742325114?fref=nf yang di share oleh mahasiswa fakultas teknik Unhas. Cukup tertarik untuk sedikit membahasnya. Karena, muatan dari tulisan tersebut yang berisi keluhan-keluhan dari kami mahasiswa teknik.
Namun, apakah benar berorganisasi diharamkan?
Sebelum menjawab itu mari menelaah terlebih dahulu tentang apa jadinya ketika berorganisasi dilarang?
Dalam perspektif saya sebagai mahasiswa, tentu menjadi pertanyaan kita sekalian ketika ruang aktualisasi diri dalam kampus itu tidak ada. Ruang aktualisasi diri, menjadi penting karena penerapan hard skill sangat sulit dilakukan tanpa kemampuan soft skill yang mayoritas didapatkan di luar perkuliahan, memadai. Bahkan manurut Nurudin (2004), dalam “Menggugat Pendidikan Hard Skill” mengungkapkan bahwa dunia pendidikan Indonesia dikejutkan oleh hasil penelitian dari Harvard University, Amerika Serikat. Penelitian itu mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.
Kampus (dalam hal ini birokrat kampus Teknik Unhas), menurut saya, bukannya tidak paham dengan kondisi tersebut. Untuk itu dibuatlah pelatihan-pelatihan yang mengedepankan kemampuan soft skill. Sebut saja P2MB, BCSS, LK2M dll. Hanya saja, kemampuan soft skill hanya bisa terasah melalui penempaan di dalam suatu proses yang tidak hanya 1 atau 2 hari. Hal tersebut senantiasa berproses dan melalui berbagai macam dinamika di dalamnya.
Untuk itu, hadirlah lembaga kemahasiswaan sebagai wahana dan sarana pengembangan soft skill mahasiswa. Memang seringkali disebutkan bahwa lembaga kemahasiswaan bukanlah wadah satu-satunya yang dapat menumbuh kembangkan soft skill dan kreativitas. Banyak organisasi lain di luar sana yang bisa menjadi sarana dan prasarananya. Hanya saja lembaga kemahaiswaan di dalam kampus berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya di luar sana. Lema atau yang kita kenal di dalam Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin sebagai Organisasi Kemahasiswaan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (OKFT-UH) yang membawahi langsung Organisasi Kemahasiswaan Jurusan (OKJ) di tiap-tiap jurusan yang ada di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, merupakan wadah yang telah disediakan dan sangat tepat serta telah tersusun secara rapi untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa teknik di tataran birokrasi.
Lema hadir sebagai pengawal aspirasi yang merupakan perwakilan mahasiswa yang sangat banyak jumlahnya yang kemudian dikerucutkan menjadi suatu lembaga yang senantiasa berpikir kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, baik di luar ataupun di dalam kampus. Apa jadinya jika organisasi ini dilarang?
Jawaban-jawaban yang seolah diplomatis yang mengatakan bahwa tidak ada pelarangan lembaga kemahasiswaan di dalam kampus seolah berbanding terbalik dengan realita yang terjadi di dalam kampus. Realita-realita yang disebutkan dalam tulisan tersebut tentang angkatan 2014 seringkali diancam sanksi skorsing ketika mengikuti Lembaga Kemahasiswaan seolah menjadi fakta di kalangan kami mahasiswa teknik unhas di gowa.
" Jurusan Perkapalan, beberapa mahasiswa diancam kena skorsing akademik jika ada yang berani ikut kegiatan. Bahkan Lomba Kapal Tingkat Nasional (PESIAR) yang hendak diadakan oleh Himpunan dilarang dilaksanakan. Terakhir, bikin Musyawarahpun dalam rangka pergantian pengurus dilarang untuk dilaksanakan."
kutipan di atas sebagaimana yang dituliskan dalam artikel tersebut sudah menjadi perbincangan di kalangan kami mahasiswa Teknik Unhas Gowa. Apa salahnya membuat kegiatan skala nasioal yang sangat jarang diadakan di kampus tercinta ini. Meski pada akhirnya kegiatan ini dapat terlaksana, namun setelah melalui proses yang panjang.
"Angkatan 2012 - Beberapa stakeholder angkatan rentan terkena ancaman karena dianggap sebagai provokator yang mengajak teman-teman mahasiswa untuk berani ikut kegiatan kelembagaan."
Skorsing! Mungkin kata itu sudah seringkali terdengar bagi kami mahasiswa yang berkuliah di Gowa. Seolah segala bentuk pelanggaran yang terdapat di kampus, sanksinya adalah Skorsing!!! Entah sudah berapa banyak mahasiswa yang terkena sanksi tersebut terkait dengan lembaga kemahasiswaan. Yang terbaru, seperti yang disebutkan dalam artikel tersebut :
"Angkatan 2013 jurusan Elektro, diancam sanksi akademik oleh pihak Birokrat Kampus sebanyak 80an mahasiswa. Dan 12 diantaranya sudah disidang KOMDIS dan pemanggilan orang tua mahasiswa untuk pelarangan ikut Organisasi. Ironisnya, Ketua Himpunan Elektro bahkan tidak mengisi SIAKA hingga tidak bisa berkuliah semester ini (digantung sanksi skorsing)"
Komisi disiplin seolah telah menjadi momok dan sangat ditakuti oleh para mahasiswa, karena sanksi yang seringkali dijatuhkan pun tidak main-main. Skorsing! 1-2 semester. Kampus yang katanya ‘lembaga pendidikan’, justru mendidik mahasiswanya untuk patuh dan tunduk dengan segala aturan yang dibuat sekalipun itu di luar nalar para mahasiswa tentang tujuan dari aturan tersebut dibuat. Tidak ada ruang untuk sikap kritis terhadap aturan-aturan yang dikeluarkan. Membuat mahasiswa takut, ciut, tuduk dan diharuskan patuh! Karena jika tidak, panggilan ‘komdis’ senantiasa menanti.
Larangan berambut gonrong di dalam kampus seolah menjadi contoh real atas kegagalan kampus dalam menjelaskan tentang tujuan dari pelarangan tersebut. Namun, tidak ada pilihan bagi kami mahasiswa. Mahasiswa yang berambut gonrong, nama-namanya dicatat dan diberikan surat panggilan menghadiri sidang komdis. Tidak ada pilihan bagi kami selain mengikuti aturan tersebut. Karena, ketakutan akan ancaman skorsing telah menjadi trauma bagi kami mahasiswa yang sejak awal kepindahan kami di kampus gowa yang sangat ditekankan. Masih banyak aturan-aturan yang dibuat di luar nalar kami para mahasiswa.
Tidak selayaknya lembaga yang tugasnya ‘mendidik’, menghadirkan trauma yang mendalam bagi mahasiswanya. Apa jadinya, setelah menjadi alumni, yang selayaknya kampus menjadi tempat menumbuhkan sikap kritis, justru membuat alumninya takut mengkritisi aturan-aturan yang dibuat pemerintah, misalnya.
Mungkin realita yang disebutkan dalam artikel tersebut bahwa :
“Secara menyeluruh sejak mahasiswa Teknik Unhas di Tamalanrea (2012) pindah ke Gowa, intervensi trhadap mahasiswa utk tdk berlembaga makin besar tekanannya. Akhirnya banyak mahasiswa di kampus Gowa yg kehilangan wadah utk mengembangkan diri. Mereka ketakutan dan memilih utk tdk berlembaga (cari aman).”
seolah dibuat-buat, tapi memang begitulah faktanya.
Masih banyak keanehan-keanehan yang terjadi di dalam kampus teknik gowa sejak awal kepindahannya dari tamalanrea. Bahkan hal kecilpun kini tidak ada yang memerhatikan. Tidak adanya buku di perpustakaan menjadi gambaran kecilnya. Solusi yang ditawarkanpun belum berjalan yaitu, dengan menggunakan perpustakaan online (sampai sekarang hal ini belum ada) sementara jaringan wi-fi yang sangat lambat, dengan jumlah mahasiswa teknik yang sangat banyak.
Jangan bermimpi ketika mengunjungi kampus megah yang katanya senilai 2,1 triliun ini, memiliki full fasilitas. Bahkan gedung yang menerapkan konsep Green Building, terasa sangat panas ketika belajar di dalamnya. Gedung perkuliahan yang belum sepenuhnya jadi, tidak adanya laboratorium bagi para calon Engineer (Elektro dan Mesin) ini menjadi contoh bahwa proses pemindahannya sangat prematur. Ya! Tidak ada laboratorium bagi para mahasiswa TEKNIK yang sangat membutuhkan laboratorium sebagai sarana penerapan teori yang dipelajari di dalam kelas. Solusinya, mahasiswa diharuskan pulang balik Makassar – Gowa. Perkuliahan di Kabupaten Gowa, laboratorium di Tamalanrea, Makassar.
Lantas, kami hanya diam? Tentu tidak, telah berulang kali masalah tersebut disampaikan kepada birokrat kampus. Hanya saja, tidak adanya pengawalan terhadap keluhan-keluhan tersebut, membuat semuanya hilang tanpa ada tindak lanjutnya.
Jangan salahkan kami para mahasiswa, berfikir bahwa ada ‘main’ dalam proses pembangunan kampus teknik Unhas Gowa. Yang bisa dilakukan? Hanya diam, menikmati kampus megah ini yang seolah semu. Kebanyakan dari kami mahasiswa seolah apatis dengan segala keanehan-keanehan ini. Jangan bermimpi melihat mahasiswa Gowa yang menyuarakan keinginannya untuk meminta transparansi pembangunan kampus Gowa. Yang bahkan hanya sekedar menuntut janji wi-fi saja tidak bisa.
Seolah agenda untuk membungkam mahasiswa dari sikap kritis telah berhasil. Dibatasinya lembaga kemahasiswaan di kampus Gowa, seolah memberikan andil yang cukup signifikan dalam agenda tersebut. Sangat jarang melihat mahasiswa-mahasiswa yang melakukan kajian-kajian tentang permasalahan-permasalahan masyarakat yang ada di sekitar kita. Engineer yang katanya akan hadir sebagai pemecah permasalahan yang ada di masyarakat, kini terdoktrin hanya sekedar memiliki IPK yang tinggi untuk segera keluar dan menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan multi nasional.
Proses pendidikan yang sejatinya menuntut alumni yang dapat memecahkan masalah kehidupan, melatih nalar dan berpikir kritis kini disibukkan dengan sikap-sikap hedonis. Sangat miris, ketika mendengar perbincangan-perbincangan di kantin kampus seputar mahasiswa yang lagi galau karena diputuskan oleh pacarnya, yang gagal move on, berbicara tentang anime terbaru, game terbaru yang akan hadir, film terbaru di bioskop, semuanya tidak ada yang menyentuh pembicaraan-pembicaraan tentang permasalahan masyarakat. Sangat wajar jika semakin hari kualitas lulusan S1 semakin merosot.
Hal ini tentunya bukan sepenuhnya karena tidak adanya lembaga kemahasiswaan, hanya saja kondisinya akan lebih baik dengan hadirnya organisasi yang akan tetap berpegang teguh pada tri dharma perguruan tinggi. Lema bisa menjadi motor dan bahan bakar baru untuk mengingatkan kepada mahasiswa lainnya bahwa masalah yang di hadapi bukan sekedar 'gagal move on!'. Banyak hal di depan sana yang butuh perhatian.
Pemindahan Sekretariat OKFT-UH sebagaimana yang disebutkan dalam artikel tersebut :
“Kabar terbaru ttg kepindahan sekret masih terus mengalami pengunduran jadwal hingga kini. Sejak beberapa bulan terakhir sdh diadakan forum negosiasi advokasi namun belum membuahkan hasil. Kami menuntut sekretariat lembaga di Gowa.”
sudah selayaknya segera dilakukan secepatnya. Intervensi yang seringkali disebutkan dalam artikel tersebut memang benar adanya, implikasinya jelas, dengan mengulur-ulur waktu pemindahan, seolah memberi ekses kepada pemangku kebijakan untuk mengintervensi proses regenerasi di tubuh lembaga.
Sudah terlalu lama Fakultas Teknik ingin melihat mahasiswanya kembali bergairah dan merasakan atmosfir kampus sebagaimana mestinya. Atmosfir ingin melihat adanya forum komunikasi, riset-riset kemasyarakatan, seminar-seminar teknologi yang rutin dilaksanakan. Peringatan-peringatan hari-hari besar. Latihan persiapan lomba-lomba tingkat nasional, hingga acara untuk bersenang-senang dengan teman-teman sesama anak teknik sangat rindu dirasakan. Yang kesemuanya semoga dapat menjadi cerita indah bagi kami selama menjadi mahasiswa ketika lulus kelak. Jangan sampai cerita yang tertinggal selama menjadi mahasiswa hanyalah sekedar kuliah tanpa berbuat sesuatu yang wah! Perasaan sakit hati karena skorsing. Perasaan trauma selama menjalani proses perkuliahan karena ancaman skorsing.
Memang benar bahwa Teknik Unhas memiliki sejarah kelam dengan pola-pola kekerasan yang telah membudaya. Hanya saja, roda kehidupan terus berputar, begitupun dengan roda organisasi, yang tak akan pernah berhenti menghadirkan manusia-manusia baru dengan semangat dan pemahaman baru atas realitas yang terus berkembang dengan dinamis. Manusia baru inilah yang akan meneruskan kebenaran ketika yang tua meninggalkannya. Merekalah yang akan dengan benar memahami realitas ketika yang tua tersesat. Begitulah selayaknya proses regenerasi.
Sebagai seorang penonton televisi, sekaligus yang telah terlibat langsung dalam teknik unhas, saya tahu bagaimana sejarah teknik UNHAS di masa lalu yang seringkali terlibat aksi kekerasan. Namun melihat kondisi beberapa tahun ke belakang yang sudah jarang terdengar aksi semacam ini tentunya menjadi salah satu tolak ukur, bahwa anak teknik kini telah berada pada jalur untuk berubah. Hanya saja ketika suara terus dibungkam tentu perlawanan yang akan muncul. Perlawanan yang dimaksud disini tentunya bukanlah melalui angkat senjata atau semacamnya. Tetapi melawan selayaknya mahasiswa bersikap. Lembaga kemahasiswaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Konsep dari mahasiswa oleh mahasiswa untuk mahasiswa, seharusnya menjadi pertimbangan para pemangku kebijakan untuk memberikan kesempatan kepada proses regenerasi di tubuh kelembagaan. Hanya perlu komunikasi untuk menyelaraskan tujuan dari dari lembaga pendidikan itu sendiri. Jadi apakah organisasi itu dilarang? Jawabannya ada di benak para pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H