Mohon tunggu...
Indra Andrianto
Indra Andrianto Mohon Tunggu... Guru - #MerawatIngat

Penulis Buku Kumpulan Opini #MerawatIngat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jangan Lupa Bahagia

7 Juli 2023   20:37 Diperbarui: 7 Juli 2023   20:45 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ingatlah ini, hanya dibutuhkan sesuatu yang kecil untuk membuat kebahagiaan hidup" -- Marcus Aurellius (Kaisar Romawi)

Jika dalam tulisan Catatan Bingung nomor lima  tentang Sokrates dan Nasi Jinggo yang saya tulis di blog pribadi beberapa waktu yang lalu, pembaca akan menemui bahwa filsuf besar bernama Sokrates memaknai kebahagiaannya dengan menjadikan dirinya dalam hidup yang se-sederhana mungkin. Dan setiap manusia harus yakin bahwa setiap manusia harus mampu terlepas dari penyakit berupa belenggu nafsu dan ambisi yang terkadang membuat manusia tidak pernah merasakan cukup dan bahkan berpotensi menyebabkan sifat kerakusan dan tamak dalam diri. Mencantumkan nama Sokrates dipembuka tulisan ini, tentu menarik dan pasti pembaca akan bertanya bagaimana para filsuf selain sokrates menikmati  tentang kebahagiaan yang dia jalani selama menggunakan akal sehatnya.

"Makanan enak, baju indah dan segala kemewahan. Itulah yang kau sebut kebahagiaan, namun aku percaya suatu keadaan dimana manusia tidak menginginkan apapun adalah kebahagiaan tertinggi".- Socrates

Setiap filsuf mengartikan dunia dengan cara yang sangat menarik, dengan cara-cara yang tentunya mempunyai nilai bijaksana, bahkan hal itu diluar apa yang dipikirkan manusia pada umumnya. Terdengar sepele dan sederhana, tapi begitu berat dibiasakan dan diajlani dalam kehidupan sehari-sehari. Membiasakan bersyukur, misalnya. Didalam kerangka berpikir filsafat, dimana seorang Sokrates dapat dengan mudah pembaca pahami sebagai manusia yang mencari hakikat dasar untuk menemukan kebahagiaan sejati, tentunya dilakukan dengan cara-cara yang filosofis dengan menyelami hidup bersama kebahagiaan yang sejati bahwa kebahagiaan itu bukan tentang hal yang berwujud uang, benda dan jabatan. Bahkan setiap manusia yang masih bisa bangun pagi dalam keadaan bisa melihat dunia adalah suatu kebahagiaan yang jangan lupa untuk di syukuri.

Lantas apa dasar manusia untuk mengatakan tidak bahagia, sedang kebahagian terdapat dalam diri kita dan dapat kita rasakan dimana saja. Para filsuf selalu memandang dunia itu sangat menarik untuk dipelajari dan tanpa memikirkan keuntungan apa yang akan ia dapat dari perjalanan rasa ingin tahunya (tidak peduli dunia memberikan keuntungan apa) yang terpenting bagaimana kegelisahan dalam hati dan pikirannya dapat terobati sekalipun didalam kesimpulannya proses berpikir filsafat, sampai hari ini masih belum menemukan ketetapan yang pasti, sebab kesimpulan dalam filsafat selalu dinamis dan bahkan mampu mengobati bodoh dan mengusir takhayyul.

Ada beberapa aliran dalam filsafat, seperti diantaranya eksistensialisme, materialisme, universalisme, idealisme, positivisme dan segala macam kata penggantinya dalam melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan definisi bahagia. Cara yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan metode (alat) yang jadikan suatu passion dalam berpikirnya. Namun, tidak keluar dari apa yang kita sepakati sebagai kebijaksanaan berpikir secara filosofi dalam menemukan makna dan arti.

Seorang filsuf akan selalu merasa bahagia dalam keadaan terdesak atau bahkan susah sekalipun, seperti Sokrates yang saya ulas diawal paragraf pembuka. Tulisan ini akan sedikit banyak membahas tentang kebahagiaan dalam diri manusia. Setelah membahas Sokrates mari kita kembali pada periode abad ke-3 (Hellenis) yang juga intens membahas tentang kebahagiaan. Tentunya kurang lengkap rasanya jika tidak membahas para pemikir dari tokoh-tokoh filsafat Stoa yang hidup di abad ke-3 itu, sebab mereka begitu gamblang membahas perihal bahagia dalam menyikapi fenomena semesta dan segala kehidupannya.

Secara umum ada tiga nama besar yang menjadi figur didalam filsafat Stoa diantaranya Marcus Aurellius, Epitectus, dan Sineca ketiga tokoh tersebut merupakan generasi Hellenis ketiga yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Zeno dari Citium. Zeno sendiri merupakan filsuf yang berasal dari Turki, konon ketika Zeno melakukan pelayaran dengan membawa barang dagangannya (Zeno seorang pedagang), tiba-tiba perahu yang dikendarainya diterjang badai sehingga membuatnya terdampar ke Yunani. Pada masa-masa terdamparnya di Yunani, dia sering berkunjung ke perpustakaan dan mulai tertarik dengan salah satu buku yang menurutnya sangat penting didalami sehingga membuat Zeno suka hati menanyakan kepada penjaga perpustakaan "Dimana saya bisa menemui penulis buku ini?"  tanya Zeno pada petugas disana. Momen yang tepat bersamaan ketika penulis bukunya juga ada disana, orang tersebut bernama Crates, petugas perpustakaan menunjuk ke arah Crates dimana dia juga seorang filsuf di Athena. Singkat cerita, Zeno mulai belajar filsafat kepada Crates dan mulai dikenalkan dengan filsuf-filsuf lain yang ada di Athena. Saat itu Athena menjadi pusat belajar filsafat, dan seiring perkembangan sang Zeno (yang juga dipengaruhi oleh Socrates pada masanya) menjadi salah satu pengajar Mazhab Stoa di wilayah tersebut.

Mengenal Stosisme

Jika kalian membaca buku yang ditulis dengan cara bercanda seperti yang telah ditulis oleh Henry Manampiring dalam Filosofi Teras atau buku yang ditulis dengan sangat serius seperti buku The Hellenistic Philosophers terbitan Cambridge maka dapat dipastikan kalian akan menemukan arti  Stoisisme sebagai sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang lahir di Athena (Yunani) pada awal abad ke-3 SM. Namun data di dalam kamus filsafat menyatakan bahwa Stosisme baru resmi pada tahun 108 SM setelah Zeno dari Citium. Orang-orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah Stoa adalah Cleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli sebagai generasi kedua dari Stosisme. Orang-orang yang belajar filsafat Stoa disebut kaum Stoik. Stoa bersasal dari bahasa Yunani jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti "teras" karena pada masanya Zeno mengajarkan pahamnya di teras-teras Athena yang berpilar  atau lebih mudah kita kenal dengan alun-alun kota (taman kota).

Stoisisme lahir dimasa-masa Yunani sedang mengalami kekacauan. Kehadiran Stoisme mampu memperbaiki mental orang-orang Yunani yang terjajah kebodohan dan kesengsaraan pada masa itu. Namun pengaruh Stoisisme tidak bertahan lama sebab pada abad ke-4 doktrin gereja sebagai kebenaran yang absolut mulai muncul dan Stosisme mulai tidak lagi banyak digaungkan. Tapi pada abad ke-20 Stosisme mulai populer kembali dan menjadi suatu kajian yang marak dibaca oleh kelompok intelektual, pemuda dan orang-orang pada umumnya yang sangat menggilai bacaan-bacaan berkaitan dengan filsafat. Bahkan di beberapa negara ada perayaan khusus yakni Stoik week yang dilaksanakan setiap bulan Oktober untuk sebagai bentuk rasa syukur dan mengenang pengaruh besar kaum stoa terhadap mental manusia yang menganut setiap pahamnya.

 Marcus Aurellius seorang kaisar Romawi, Epitectus seorang budak dan Julius Seneca seorang penulis kekaisaran romawi. Didalam aliran filsafat Stoisisme menekankan tentang bagaimana menjalani hidup atau bagaimana menjalani hidup dengan kebahagiaan yang sejati. Tujuan dari Stoisisme seperti apa yang sudah dijelaskan didalam buku yang ditulis oleh Henry Manampiring (Filosofi Teras: hal. 27) bahwa tujuan Stoisisme yang pertama, mengenai manusia agar bisa hidup bebas dari emosi negatif (sedih, marah, cemburu, curiga, dan lain-lain). Kedua, manusia hidup untuk mengasah kebajikan (kebijaksanaan, keadilan, keberanian, menahan diri). Yang ketiga, manusia diharuskan memiliki keberaninian (courage), keberanian yang dimaksud berani dalam berbuat benar, atau berpegang pada prinsip yang benar. Jangan sampai berani diartikan sempit dalam perihal ini. Dan yang terakhir yaitu manusia diharus bisa menahan diri (temperance), artinya manusia memiliki nilai-nilai disiplin, sederhana, dan kontrol diri atas nafsu dan emosi.

Dalam konteks ini dapat kita cermati bahwa Stoisisme sama sekali tidak terpesona dan tidak mementingkan pencapaian-pencapaian yang berkaitan dengan dunia, seperti kekayaan, kesuksesan karier, popularitas, dan segala kata serupanya tetapi lebih kepada sifat seseorang yang memiliki rasa tentram dan suka cita yang tidak mudah goyah disituasi apapun. Sederhananya, senantiasa bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan dalam diri kita, tanpa harus menunggu sesuatu yang besar baru sebagai manausia mau bersyukur dan menyatakan diri bahagia.

Jangan Lupa Bahagia

"seringkali perasaan mengalami takut, cemas, terganggu terhadap suatu hal yang timbul karena opini kita sendiri hal tersebut yang menyebabkan kita tidak kenal dengan bahagia. It is not things that disturb us, but our opinion of them" - Epitectus

Penekanan tulisan sebelumnya tidak pernah lepas dari kata "bahagia", apasih yang dimaksud dengan bahagia? Ada banyak pengertiaan bahagia, mulai dari pengertian ahli pikir dan bahkan seorang bocil sekalipun bisa mengartikan tentang perasaan bahagia. Apa pentingnya bahagia bagi kehidupan manusia? mengingat banyak slogan dan caption medsos yang menyerukan "Jangan Lupa Bahagia" dan ada diantara manusia yang setiap tahunnya merayakan Internasional Day of Happiness, apakah mereka sudah benar-benar merasakan dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya? Setiap orang bekerja keras untuk tetap tertawa dan mewujudkan kebahagiannya dengan harapan-harapan yang hidup didalam setiap pori-pori kulitnya. Tetapi manusia terkadang terlalu banyak keinginan yang ingin dicapai hanya demi satu makna "bisa bahagia" jika keterlaluan dan berlebihan, manusia akan tiba di stasiun bernama lupa, bahwa ada hal yang lebih nikmat dari sekedar keinginan yang telah tercapai, yakni tidak menginginkan apa-apa. Saya lebih setuju jika sesuatu yang membahagiakan itu tidak harus sesuatu yang bernilai mewah dan megah apalagi yang sifatnya sementara yang lebih kearah keduniawian. Maka dari sini kaum Stoa mengajarkan tentang asal usul bahagia yang sebenarnya melalui dikotomi kendali.

Kaum Stoa mengajarkan dikotomi kendali menjadi dua hal. Pertama, hal-hal yang bukan di bawah kendali kita, yakni tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kekayaan, kondisi tubuh, segala sesuatu yang diluar pikiran dan tindakan kita seperti cuaca, gempa bumi, dan peristiwa alam lainnya. Kemudian, yang kedua adalah hal-hal yang di bawah kendali kita yaitu pertimbangan, opini, persepsi, tujuan hidup, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita. Sehingga, individu diwajibkan untuk menerima kenyataan bahwa banyak hal-hal di luar sana yang senantiasa siap membuat kita merasakan kecewa hingga menyebabkan kita makin bingung dalam mengejar kebahagiaan.

Jalan keluar yang ditawarkan Stoisisme dengan menamkan dalam dirinya untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kendalikan (kembali pada teori dikotomi kendali). Namun, bukan berarti harus menghindari hal-hal yang berada di luar kendali, justru sebaliknya, menghadapinya dengan menerapkan kebaikan, tidak peduli seberapa pahit jalan seseorang tetap haruslah berbuat kebaikan. Seseorang yang hanya menggantungkan kebahagiaannya diluar kendali dirinya, "saya akan bahagia jika bersama si A, jika tidak...maka saya akan sangat sedih dan kecewa" misalnya. Keinginan-keinangan seperti itu banyak menjangkit pada dikalangan pemuda pada abad ini, penyakit Ghosting dalam hubungan cinta kasih juga termasuk salah satu didalamnya, dengan kata lain betapa hidupnya terobsesi dan dijajah oleh keinginan dengan hidup yang penuh harap dengan adanya orang lain dan ketergantungan pada kendali yang diluar dirinya (Berharap pada hati pasanganmu misalnya wkwkw) itu yang terkadang membuat kita jauh dari kata bahagia, karena dalam diri manusia tertanam cara berpikir bahwa bahagia itu berasal dari luar diri kita.

Saya sering bertanya pada diri sendiri, mana yang lebih penting bahagia karena tertawa atau tertawa karena bahagia? yang jelas, hal terpenting yang perlu saya ketahuai, bahwa bahagia itu diciptakan oleh diri sendiri bukan karena adanya orang lain (titik) atau hal lain diluar kendali diri saya sendiri. Tidak ada lagi setiap manusia yang berharap atau berkeinginan datangnya bahagia berasal dari orang lain atau diluar kendali dirinya sendiri. Agar senantiasa bahagia, satu-satunya cara peling sederhana adalah dengan bersyukur atas apa yang sudah kita lakukan selama ini dan apa yang kita miliki hari ini serta pandai-pandai mencermati diri seperti apa yang titik tumpu berpikir ala para filsuf dengan mengenali diri sendiri terlebih dahulu sebelum ke hal yang lain (be yourself).

Sebagai contoh lagi, untuk mencapai puncak kebahagian dimulai dari hal-hal yang sederhana misalnya hidup tidak untuk sering mengeluh, sering mengeluh muatannya adalah negatif dan akal akan bekerja dengan segenap dominan kenegatifannya sepertia apa yang pernah ditulis oleh Carl Sagan tentang pengaruh semesta dan pikiran manusia, karena bukannya melahirkan solusi dan jalan keluar atas masalah yang menghadang malah cenderung menyalahkan diri, orang lain dan lingkungannya. Tetapi dengan rasa syukur tanpa melibatkan keluh muatan dalam kinerja otak selalu positif, maka dapat disimpulkan  yang menentukan bahagia atau tidaknya seseorang dipengaruhi oleh sejauh mana setiap manusia bisa mengendalikan pikirannya juga. Jangan lupa, kesehatan yang kita rasakan dan waktu yang kita geluti adalah nikmat kebahagiaan tertinggi yang patut kita syukuri sebagai bukti bahwa kita bahagia tanpa harus melibatkan kekayaan dan segala macam kata sejenisnya yang sifatnya duniawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun