Stoisisme lahir dimasa-masa Yunani sedang mengalami kekacauan. Kehadiran Stoisme mampu memperbaiki mental orang-orang Yunani yang terjajah kebodohan dan kesengsaraan pada masa itu. Namun pengaruh Stoisisme tidak bertahan lama sebab pada abad ke-4 doktrin gereja sebagai kebenaran yang absolut mulai muncul dan Stosisme mulai tidak lagi banyak digaungkan. Tapi pada abad ke-20 Stosisme mulai populer kembali dan menjadi suatu kajian yang marak dibaca oleh kelompok intelektual, pemuda dan orang-orang pada umumnya yang sangat menggilai bacaan-bacaan berkaitan dengan filsafat. Bahkan di beberapa negara ada perayaan khusus yakni Stoik week yang dilaksanakan setiap bulan Oktober untuk sebagai bentuk rasa syukur dan mengenang pengaruh besar kaum stoa terhadap mental manusia yang menganut setiap pahamnya.
 Marcus Aurellius seorang kaisar Romawi, Epitectus seorang budak dan Julius Seneca seorang penulis kekaisaran romawi. Didalam aliran filsafat Stoisisme menekankan tentang bagaimana menjalani hidup atau bagaimana menjalani hidup dengan kebahagiaan yang sejati. Tujuan dari Stoisisme seperti apa yang sudah dijelaskan didalam buku yang ditulis oleh Henry Manampiring (Filosofi Teras: hal. 27) bahwa tujuan Stoisisme yang pertama, mengenai manusia agar bisa hidup bebas dari emosi negatif (sedih, marah, cemburu, curiga, dan lain-lain). Kedua, manusia hidup untuk mengasah kebajikan (kebijaksanaan, keadilan, keberanian, menahan diri). Yang ketiga, manusia diharuskan memiliki keberaninian (courage), keberanian yang dimaksud berani dalam berbuat benar, atau berpegang pada prinsip yang benar. Jangan sampai berani diartikan sempit dalam perihal ini. Dan yang terakhir yaitu manusia diharus bisa menahan diri (temperance), artinya manusia memiliki nilai-nilai disiplin, sederhana, dan kontrol diri atas nafsu dan emosi.
Dalam konteks ini dapat kita cermati bahwa Stoisisme sama sekali tidak terpesona dan tidak mementingkan pencapaian-pencapaian yang berkaitan dengan dunia, seperti kekayaan, kesuksesan karier, popularitas, dan segala kata serupanya tetapi lebih kepada sifat seseorang yang memiliki rasa tentram dan suka cita yang tidak mudah goyah disituasi apapun. Sederhananya, senantiasa bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan dalam diri kita, tanpa harus menunggu sesuatu yang besar baru sebagai manausia mau bersyukur dan menyatakan diri bahagia.
Jangan Lupa Bahagia
"seringkali perasaan mengalami takut, cemas, terganggu terhadap suatu hal yang timbul karena opini kita sendiri hal tersebut yang menyebabkan kita tidak kenal dengan bahagia. It is not things that disturb us, but our opinion of them" -Â Epitectus
Penekanan tulisan sebelumnya tidak pernah lepas dari kata "bahagia", apasih yang dimaksud dengan bahagia? Ada banyak pengertiaan bahagia, mulai dari pengertian ahli pikir dan bahkan seorang bocil sekalipun bisa mengartikan tentang perasaan bahagia. Apa pentingnya bahagia bagi kehidupan manusia? mengingat banyak slogan dan caption medsos yang menyerukan "Jangan Lupa Bahagia" dan ada diantara manusia yang setiap tahunnya merayakan Internasional Day of Happiness, apakah mereka sudah benar-benar merasakan dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya? Setiap orang bekerja keras untuk tetap tertawa dan mewujudkan kebahagiannya dengan harapan-harapan yang hidup didalam setiap pori-pori kulitnya. Tetapi manusia terkadang terlalu banyak keinginan yang ingin dicapai hanya demi satu makna "bisa bahagia" jika keterlaluan dan berlebihan, manusia akan tiba di stasiun bernama lupa, bahwa ada hal yang lebih nikmat dari sekedar keinginan yang telah tercapai, yakni tidak menginginkan apa-apa. Saya lebih setuju jika sesuatu yang membahagiakan itu tidak harus sesuatu yang bernilai mewah dan megah apalagi yang sifatnya sementara yang lebih kearah keduniawian. Maka dari sini kaum Stoa mengajarkan tentang asal usul bahagia yang sebenarnya melalui dikotomi kendali.
Kaum Stoa mengajarkan dikotomi kendali menjadi dua hal. Pertama, hal-hal yang bukan di bawah kendali kita, yakni tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kekayaan, kondisi tubuh, segala sesuatu yang diluar pikiran dan tindakan kita seperti cuaca, gempa bumi, dan peristiwa alam lainnya. Kemudian, yang kedua adalah hal-hal yang di bawah kendali kita yaitu pertimbangan, opini, persepsi, tujuan hidup, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita. Sehingga, individu diwajibkan untuk menerima kenyataan bahwa banyak hal-hal di luar sana yang senantiasa siap membuat kita merasakan kecewa hingga menyebabkan kita makin bingung dalam mengejar kebahagiaan.
Jalan keluar yang ditawarkan Stoisisme dengan menamkan dalam dirinya untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kendalikan (kembali pada teori dikotomi kendali). Namun, bukan berarti harus menghindari hal-hal yang berada di luar kendali, justru sebaliknya, menghadapinya dengan menerapkan kebaikan, tidak peduli seberapa pahit jalan seseorang tetap haruslah berbuat kebaikan. Seseorang yang hanya menggantungkan kebahagiaannya diluar kendali dirinya, "saya akan bahagia jika bersama si A, jika tidak...maka saya akan sangat sedih dan kecewa" misalnya. Keinginan-keinangan seperti itu banyak menjangkit pada dikalangan pemuda pada abad ini, penyakit Ghosting dalam hubungan cinta kasih juga termasuk salah satu didalamnya, dengan kata lain betapa hidupnya terobsesi dan dijajah oleh keinginan dengan hidup yang penuh harap dengan adanya orang lain dan ketergantungan pada kendali yang diluar dirinya (Berharap pada hati pasanganmu misalnya wkwkw) itu yang terkadang membuat kita jauh dari kata bahagia, karena dalam diri manusia tertanam cara berpikir bahwa bahagia itu berasal dari luar diri kita.
Saya sering bertanya pada diri sendiri, mana yang lebih penting bahagia karena tertawa atau tertawa karena bahagia? yang jelas, hal terpenting yang perlu saya ketahuai, bahwa bahagia itu diciptakan oleh diri sendiri bukan karena adanya orang lain (titik) atau hal lain diluar kendali diri saya sendiri. Tidak ada lagi setiap manusia yang berharap atau berkeinginan datangnya bahagia berasal dari orang lain atau diluar kendali dirinya sendiri. Agar senantiasa bahagia, satu-satunya cara peling sederhana adalah dengan bersyukur atas apa yang sudah kita lakukan selama ini dan apa yang kita miliki hari ini serta pandai-pandai mencermati diri seperti apa yang titik tumpu berpikir ala para filsuf dengan mengenali diri sendiri terlebih dahulu sebelum ke hal yang lain (be yourself).
Sebagai contoh lagi, untuk mencapai puncak kebahagian dimulai dari hal-hal yang sederhana misalnya hidup tidak untuk sering mengeluh, sering mengeluh muatannya adalah negatif dan akal akan bekerja dengan segenap dominan kenegatifannya sepertia apa yang pernah ditulis oleh Carl Sagan tentang pengaruh semesta dan pikiran manusia, karena bukannya melahirkan solusi dan jalan keluar atas masalah yang menghadang malah cenderung menyalahkan diri, orang lain dan lingkungannya. Tetapi dengan rasa syukur tanpa melibatkan keluh muatan dalam kinerja otak selalu positif, maka dapat disimpulkan  yang menentukan bahagia atau tidaknya seseorang dipengaruhi oleh sejauh mana setiap manusia bisa mengendalikan pikirannya juga. Jangan lupa, kesehatan yang kita rasakan dan waktu yang kita geluti adalah nikmat kebahagiaan tertinggi yang patut kita syukuri sebagai bukti bahwa kita bahagia tanpa harus melibatkan kekayaan dan segala macam kata sejenisnya yang sifatnya duniawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H