"Ingatlah ini, hanya dibutuhkan sesuatu yang kecil untuk membuat kebahagiaan hidup" -- Marcus Aurellius (Kaisar Romawi)
Jika dalam tulisan Catatan Bingung nomor lima  tentang Sokrates dan Nasi Jinggo yang saya tulis di blog pribadi beberapa waktu yang lalu, pembaca akan menemui bahwa filsuf besar bernama Sokrates memaknai kebahagiaannya dengan menjadikan dirinya dalam hidup yang se-sederhana mungkin. Dan setiap manusia harus yakin bahwa setiap manusia harus mampu terlepas dari penyakit berupa belenggu nafsu dan ambisi yang terkadang membuat manusia tidak pernah merasakan cukup dan bahkan berpotensi menyebabkan sifat kerakusan dan tamak dalam diri. Mencantumkan nama Sokrates dipembuka tulisan ini, tentu menarik dan pasti pembaca akan bertanya bagaimana para filsuf selain sokrates menikmati  tentang kebahagiaan yang dia jalani selama menggunakan akal sehatnya.
"Makanan enak, baju indah dan segala kemewahan. Itulah yang kau sebut kebahagiaan, namun aku percaya suatu keadaan dimana manusia tidak menginginkan apapun adalah kebahagiaan tertinggi".-Â Socrates
Setiap filsuf mengartikan dunia dengan cara yang sangat menarik, dengan cara-cara yang tentunya mempunyai nilai bijaksana, bahkan hal itu diluar apa yang dipikirkan manusia pada umumnya. Terdengar sepele dan sederhana, tapi begitu berat dibiasakan dan diajlani dalam kehidupan sehari-sehari. Membiasakan bersyukur, misalnya. Didalam kerangka berpikir filsafat, dimana seorang Sokrates dapat dengan mudah pembaca pahami sebagai manusia yang mencari hakikat dasar untuk menemukan kebahagiaan sejati, tentunya dilakukan dengan cara-cara yang filosofis dengan menyelami hidup bersama kebahagiaan yang sejati bahwa kebahagiaan itu bukan tentang hal yang berwujud uang, benda dan jabatan. Bahkan setiap manusia yang masih bisa bangun pagi dalam keadaan bisa melihat dunia adalah suatu kebahagiaan yang jangan lupa untuk di syukuri.
Lantas apa dasar manusia untuk mengatakan tidak bahagia, sedang kebahagian terdapat dalam diri kita dan dapat kita rasakan dimana saja. Para filsuf selalu memandang dunia itu sangat menarik untuk dipelajari dan tanpa memikirkan keuntungan apa yang akan ia dapat dari perjalanan rasa ingin tahunya (tidak peduli dunia memberikan keuntungan apa) yang terpenting bagaimana kegelisahan dalam hati dan pikirannya dapat terobati sekalipun didalam kesimpulannya proses berpikir filsafat, sampai hari ini masih belum menemukan ketetapan yang pasti, sebab kesimpulan dalam filsafat selalu dinamis dan bahkan mampu mengobati bodoh dan mengusir takhayyul.
Ada beberapa aliran dalam filsafat, seperti diantaranya eksistensialisme, materialisme, universalisme, idealisme, positivisme dan segala macam kata penggantinya dalam melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan definisi bahagia. Cara yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan metode (alat) yang jadikan suatu passion dalam berpikirnya. Namun, tidak keluar dari apa yang kita sepakati sebagai kebijaksanaan berpikir secara filosofi dalam menemukan makna dan arti.
Seorang filsuf akan selalu merasa bahagia dalam keadaan terdesak atau bahkan susah sekalipun, seperti Sokrates yang saya ulas diawal paragraf pembuka. Tulisan ini akan sedikit banyak membahas tentang kebahagiaan dalam diri manusia. Setelah membahas Sokrates mari kita kembali pada periode abad ke-3 (Hellenis) yang juga intens membahas tentang kebahagiaan. Tentunya kurang lengkap rasanya jika tidak membahas para pemikir dari tokoh-tokoh filsafat Stoa yang hidup di abad ke-3 itu, sebab mereka begitu gamblang membahas perihal bahagia dalam menyikapi fenomena semesta dan segala kehidupannya.
Secara umum ada tiga nama besar yang menjadi figur didalam filsafat Stoa diantaranya Marcus Aurellius, Epitectus, dan Sineca ketiga tokoh tersebut merupakan generasi Hellenis ketiga yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Zeno dari Citium. Zeno sendiri merupakan filsuf yang berasal dari Turki, konon ketika Zeno melakukan pelayaran dengan membawa barang dagangannya (Zeno seorang pedagang), tiba-tiba perahu yang dikendarainya diterjang badai sehingga membuatnya terdampar ke Yunani. Pada masa-masa terdamparnya di Yunani, dia sering berkunjung ke perpustakaan dan mulai tertarik dengan salah satu buku yang menurutnya sangat penting didalami sehingga membuat Zeno suka hati menanyakan kepada penjaga perpustakaan "Dimana saya bisa menemui penulis buku ini?" Â tanya Zeno pada petugas disana. Momen yang tepat bersamaan ketika penulis bukunya juga ada disana, orang tersebut bernama Crates, petugas perpustakaan menunjuk ke arah Crates dimana dia juga seorang filsuf di Athena. Singkat cerita, Zeno mulai belajar filsafat kepada Crates dan mulai dikenalkan dengan filsuf-filsuf lain yang ada di Athena. Saat itu Athena menjadi pusat belajar filsafat, dan seiring perkembangan sang Zeno (yang juga dipengaruhi oleh Socrates pada masanya) menjadi salah satu pengajar Mazhab Stoa di wilayah tersebut.
Mengenal Stosisme
Jika kalian membaca buku yang ditulis dengan cara bercanda seperti yang telah ditulis oleh Henry Manampiring dalam Filosofi Teras atau buku yang ditulis dengan sangat serius seperti buku The Hellenistic Philosophers terbitan Cambridge maka dapat dipastikan kalian akan menemukan arti  Stoisisme sebagai sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang lahir di Athena (Yunani) pada awal abad ke-3 SM. Namun data di dalam kamus filsafat menyatakan bahwa Stosisme baru resmi pada tahun 108 SM setelah Zeno dari Citium. Orang-orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah Stoa adalah Cleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli sebagai generasi kedua dari Stosisme. Orang-orang yang belajar filsafat Stoa disebut kaum Stoik. Stoa bersasal dari bahasa Yunani jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti "teras" karena pada masanya Zeno mengajarkan pahamnya di teras-teras Athena yang berpilar  atau lebih mudah kita kenal dengan alun-alun kota (taman kota).