Setidaknya sebulan ini didaerahku 3 orang mengakhiri hidupnya, 25 orang pertahun. Itu angka yang diberitakan media. Belum yang lolos dari koran.Â
Bentuknya beragam ada yang gantung diri, menenggelamkan diri ke sungai, waduk atau menenggak racun tikus. Nyawa melayang seperti dimakan begitu saja oleh Sang Yamadipati.Â
Tentu tidak serta merta orang ingin melakukan niatan ini, beragam motif menjadi sangkaan polisi dan penyidik kasus. Bisa saja faktor ekonomi, dendam, luka, stres, depresi, tidak kuat menghadapi banyak tekanan hidup, menerima penolakan demi penolakan, atau sedang difase quarter life crisis.
Tak melulu seperti sangkaan orang hanya karena terbelit hutang, kebanyakan mereka yang bunuh diri masih berusia dibawah 40 tahun, artinya mereka kebanyakan masih sekolah, kuliah, sedang mencari dirinya, sedang mengenali apa-apa saja yang tersimpan didalam dirinya. Dan mau tidak mau standar etis sosial kita yang tinggi mempengaruhi anak-anak diusia ini ditekan oleh egoisme orang tua mereka.Â
Ditekan untuk menjadi ini itu dengan harapan bisa melanggengkan kemapanan keluarga. Atau dalam kasus lain semisal broken-home, betapa kehausan sebuah keluarga, keinginan untuk keluar dari segala kepahitan-kepahitan harus dibayar menjadi penghamba keuntungan, penghamba uang yang seringkali tidak berbanding lurus dengan capaian linier anak-anak.
Anak-anak tidak lagi menjadi dirinya sendiri, pemudi-pemuda kehilangan gairah hidup karena mereka bertemu realitas yang harus dijawab sehari-hari, tak sesederhana urusan perut, pertaruhan gengsi menjadi geliat baru perang identitas dikalangan kaum muda yang ingin dilihat "normal".Â
Pemaksaan demi pemaksaan terjadi, lalu jika hasilnya tidak sesuai dengan kelaziman sosial ditolak begitu saja, pola-pola seperti ini menjadi beragam kasus dilapangan, sesuai kondisi internal keluarga dan eksternal teritorial.
Dalam kacamata lain betapa ini merupakan kritik keras kepada masyarakat yang selama ini banyak membuat standar ini itu untuk mengukur perilaku seseorang, punya tatanan tersendiri dalam mengukur tingkah warganya, namun sekaligus mulai abai terhadap kondisi psiko-sosial warga.
Tidak banyak yang berani berucap dan menekankan, bahwa manusia tidak cukup hanya diberi asupan makan-minum, Â mencari popularitas bernama kuasa, atau kestabilan dalam punya cukup banyak uang dan aset materi.Â
Nyatanya bunuh diri menjangkiti siapa saja, lintas generasi, lintas pekerjaan dan pendapatan. Ini persoalan serius psikis manusia. Kondisi psikologi manusia yang tertekan hebat oleh banyak kenyataan, yang dalam kadar sudah melampaui batasnya, lalu jalan-jalan dikejar, pertemuan mereka dengan batas-batas seolah tak ada lagi jalan keluar memaksa manusia mengakhiri hidupnya.
Masalah psiko-sosial ini berhubungan erat dengan abainya kita terhadap sekeliling. Memang kita tahu dimana-mana terjadi pemiskinan, ketidakadilan, juga beragam masalah sosial yang memaksa masyarakat kita lebih bersikap individual.Â